Minggu, 12 Desember 2010

Bang Idin, Pendekar lingkungan Hidup

Bang Idin, Pendekar lingkungan Hidup
“Alam ini bukan warisan nenek moyang, tapi titipan anak cucu kita,“ demikianlah ungkapan yang melandasi munculnya kesadaran seorang laki-laki untuk memperbaiki alam. Laki-laki itu bernama H. Chaerudin. Tanpa kesadaran akan hal itulah, mungkin kondisi bantaran Kali Pesanggrahan, Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, takkan seperti sekarang. Bantaran kali yang dulu gersang dan banyak ditemukan tumpukan sampah rumah tangga, kini berubah menjadi lahan pertanian yang subur dipenuhi tanaman palawija, sayur-sayuran serta buah-buahan.
Semuanya berawal dari kenangan masa kecil laki-laki yang akrab disapa Bang Idin ini. Tokoh yang lahir pada 13 April 1956, ingat betapa mudahnya dulu memancing ikan di Kali Pesanggrahan. Kicauan burung begitu merdu menghiasi suasana di pinggir kali. Aneka satwa lain juga dapat dengan mudah ditemui. Tapi kondisi di akhir 1980-an sangatlah jauh berbeda. Sampah bertebaran sepanjang bantaran yang tandus atau di kali yang airnya kehitaman.

Kenangan itulah yang mendorongnya pergi bertualang, menyusuri kali dengan batang-batang pisang yang diikat sebagai rakitnya. Bang Idin menyusuri kali Pesanggrahan selama lima hari enam malam."Sedikitnya 16 kecamatan di Jakarta dan 136 km kali Pesanggrahan sudah saya saksikan sendiri dalam waktu lima hari enam malam," katanya. Hasilnya adalah sebuah keprihatinan yang membuat darah kependekarannya menggelegar serta lahirnya sebuah tekad yang sederhana namun sekeras goloknya untuk mengembalikan Kali Pesanggrahan menjadi seperti dulu lagi.
Ia nekat mewujudkan tekadnya seorang diri. Awalnya ia membersihkan sampah di sepanjang bantaran. Kemudian lelaki yang beristrikan Partinah ini mulai menghidupkan lagi mata air yang ada dan menanam berbagai jenis tumbuhan. Awalnya pekerjaan Bang Idin dikatakan oleh orang lain pekerjaan yang sia-sia belaka, bahkan ia mengaku pernah dikatakan orang lain sebagai orang gila. "Gue kaga peduli apa kate orang, yang penting gue mendapat "SK" dari langit," kata Bang Iding yang kental dengan dialeg Betawi-nya.
Dengan mengenakan baju kaos warna putih, celana batik dan sabuk "Epek" berwarna hitam, lelaki bertubuh gempal itu dengan lantang mengatakan "kesal" terhadap konsep pembangunan. "Saya sangat kesel, bagaimana kaga kesel karena konsep pembangunan hanya berupa pembangunan fisik seperti gedung, jembatan, mall dan hotel,"
Dalam mewujudkan tekadnya, berkali-kali ia bersitegang dengan orang-orang yang sering membuang sampah sembarangan. Terutama pemilik rumah yang membangun tembok tinggi di bantaran. Tapi darah kependekaran mengalir deras dalam nadinya. Ia tak lantas menggunakan kekerasan untuk menyadarkan "orang Gedongan". Mereka tetap dihimbau dengan cara persuasif. Ketika mereka tetap membandel, Bang Idin tidak juga menegur mereka dengan golok terhunus, tapi malah mengumpulkan sampah-sampah ke dalam kantong plastik lalu digantungkan di pagar depan rumah orang-orang itu. "Supaya mereka paham bagaimana rasanya kalau di depan hidung mereka ada sampah. Mereka begitu kan karena belum paham." Tak jarang Bang Idin harus berurusan dengan aparat kelurahan, kecamatan, bahkan polisi. Lambat laun, kesadaran “orang gedongan” yang membangun pagar beton tinggi hingga ke bantaran kali mulai tumbuh. Mereka menyadari juga perlunya penghijauan di bantaran. Maka sejak tahun 1998, secara bertahap mereka merelakan pagar-pagar mereka dibongkar.
Bang Idin lalu mengajak tetangganya untuk turut serta. Diyakinkannya bahwa secara turun temurun, Pesanggrahan adalah tanah pendekar, sehingga mereka pun keturunan pendekar. Jadi, "Jangan sampai wilayah pendekar diacak-acak orang,"katanya. 17 orang petani kemudian membentuk kelompok Bambu Kuning dan ikut serta dalam barisan Bang Idin untuk berjuang.
Saat ini, kelompok tani itu telah berubah nama menjadi Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana. Wilayah kerjanya bertambah luas. Ribuan pohon telah berhasil ditanam. Pengadaan bibit bukan lagi hal yang sulit. Banyak instansi maupun perseorangan yang membantu pengadaan bibit ini. Merekapun tidak sembarangan menanam. Mereka mempertimbangkan banyak hal terutama kondisi geografis bantaran karena tidak semua pohon bisa ditanam di pinggir kali atau di tanah yang miring. Mereka mengandalkan ilmu yang didapatkan secara turun temurun. Maka pepohonan yang tinggi, seperti kayu secang, salam, tanjung, kedondong laut, nangka, senggugu, belimbing wuluh, mandalika, ditanam dekat dengan bibir kali. Pohon-pohon jenis tersebut memiliki akar yang sanggup mencegah erosi, selain ketinggiannya akan menjadi koridor bagi jalur lalu lintas burung-burung. Di sela-sela pepohonan tersebut ditanami tanaman obat perdu, seperti empon-emponan, brotowali, nilam, jeroak, sambiloto, dan lainnya. Agak jauh dari bibir sungai, barulah ditanami pisang atau bambu serta tanaman sayur-sayuran.
Kini hasilnya sungguh luar biasa. Area seluas 40 hektar, membentang sepanjang tepian Kali Pesanggrahan, menjadi hijau. Kini setiap hari warga dapat mendengarkan merdunya kicauan burung-burung bernyanyi. Bahkan burung yang sudah jarang ditemukan, yaitu burung cakakak yang bersarang di tanahdapat ditemui di area ini. Pohon-pohon yang mulai langka di Jakarta semacam buni, jamblang, kirai, salam, tanjung, kecapi, kepel, rengas, mandalka, drowakan, gandaria, bisbul, dapat dijumpai di sini. Belum lagi tanaman obat yang jumlahnya mencapai 142 jenis.
Disamping menghijaukan bantaran, Bang Idin dan kelompoknya juga berhasil menghidupkan kembali tujuh mata air yang dulunya mati. Air sungai tak lagi kehitaman, sehingga cukup sehat bagi berkembangbiaknya ikan-ikan. Secara berkala, KTLH Sangga Buana melepaskan bibit-bibit ikan yang dibudidayakan di tambak-tambak ke dalam kali Pesanggrahan. Bahkan, upaya yang dilakukan telah berhasil mengangkat kesejahteraan petani-petani di sekitar kali pesanggrahan. Mereka bisa memasarkan hasil kebun sayuran maupun pohon-pohon produktif lainnya semacam melinjo yang diperkirakan berjumlah 8000 batang pohon, maupun pisang dan buah-buahan lainnya.
Kini, bantaran kali Pesanggrahan ramai oleh pengunjung dari seluruh Jakarta. Siapapun boleh mengunjungi area yang kini menjadi hutan wisata secara gratis. Istimewanya, setiap pengunjung akan diajak menanam pohon atau menebar benih ikan di kali. Mereka juga tidak dilarang memancing atau mengambil hasil hutan seperti memetik melinjo dan memotong rebung. “Gratis, asalkan jangan pada ngerusak. Jangan juga nyoba-nyoba nyari ikan pake racun kalo ga mau gue tegor pake jurus,” kata Bang Idin. Setiap harinya ramai pengunjung yang datang ke daerah ini. Berbagai kelompok dari sekolah maupun perguruan tinggi juga menyumbangkan ilmu dan tenaga mereka di sini. Beberapa rombongan expatriate dari Jerman, Inggris, Perancis, Australia, Belanda hingga Jepang pun ikut mencoba merasakan keasrian daerah ini. Untuk mendampingi para wisatawan mancanegara tersebut Sangga Buana mendapatkan bantuan tenaga sebagai pemandu wisata dari Universitas Triskati yang sebelumnya diberikan pengetahuan tentang alam dan sejarah disana.
Upakarti bidang lingkungan hidup dan berbagai penghargaan lainnya telah diperoleh Bang Idin dan kelompoknya. "Yaaah itu mah buat apa. Banyak. Ada Kalpataru, atau apa lah, saya ka nguru. Tahun 2002 kalau kaga salah pernah dapat penghargaan penyelamatan air sedunia. Dan banyaklah piagam-piagam, dari Abu Dhabi, pemerintah Jerman, Belanda. Tapi saya tidak mengharap apa-apa. Apa sih artinya semua penghargaan itu kalau suatu perjuangan tidak bisa bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Tapi paling penting apabila karya saya ini tidak nyusahin orang. Saya sangat sedih. Orang yang bisa paham dengan lingkungan itu memberi penghargaan paling tinggi buat saya. Padahal itu hanya bagian dasar dan pemikiran saya, bahwa kami mengerjakan itu semua. Satu: menyelamatkan alam." Begitu ujar Bang Idin saat ditanya berapa banyak penghargaan yang telah diperolehnya.
Saat ini, Bang Idin sedang menularkan ilmunya di bantaran kali Ciliwung. Dukungan dari masyarakat sekitar, terutama dari pemuda-pemuda sudah didapatkan. Kepeloporannya dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup sanggup membuat siapa saja merasa kecil saat berhadapan dengannya. Meski hanya mengenyam pendidikan hingga kelas dua SMP, namun aktifitasnya lebih hebat dari orang-orang berpendidikan tinggi, bahkan aktifis anggota perhimpunan mahasiswa pecinta alam sekalipun.

Tidak ada komentar: