Jumat, 17 Desember 2010

MY NU

Belum lelah aku menghitung hari, sambil terus memandangi angka-angka di Bulan Desember di almanak yang tak pernah ku sentuh sebelumnya. Aku bukan menunggu natal, atau hari ulang tahunku di tanggal 16 yang telah kulingkari dengan tinta merah disertai tulisan “it’s me”. Aku terus memerhatikan 3 angka setelahnya, yang telah kutoreh lambang hati penanda cinta. Tanggal 19 Desember tinggal 4 hari lagi, namun hatiku sudah berdebar sejak lebih dari lima tahun lalu. Ya jantungku selalu berdegup tak karuan setiap mengingatnnya. Sejak kegundahan di tanggal 22 Mei 2006, bahkan sebelum itu, namun aku lupa waktu tepatnya.
Aku ambil lagi kotak dalam tas merah Karimorku. Ku buka lalu ku rapihkan isi dalam kotak itu yang jelas-jelas sudah rapih. Tanda tanya besar melintas dalam pikiranku, “suka ga ya dia dengan kado dariku?” Aku tidak memilih untuk menghitung kancing bajuku untuk mencari jawaban iya atau tidak seperti saat-saat kesulitan memilih jawaban opsional dalam ujian. Aku lebih memilih untuk membuka kotak itu lagi dan membentangkan kemeja kotak-kotak yang ada di dalamnya sembari membayangkan kemeja itu melekat di tubuh kurus keringnya.

Dia selalu tampan dengan kemeja, apalagi aku tahu persis bagaimana “selera” berpakaiannya. Lamunanku tiba-tiba buyar seketika,”udah, jangan dipandangin terus tuh kemeja, entar bosen lagi”, suara kakak perempuanku sedikit-demi sedikit menghapus gambaran-gambaran wajahnya. Aku tenang sejenak, pikirku aku masih mempunyai miliyaran bayangan tentangnya yang tidak juga hilang walau pernah ada cela. Kataku, “yah ka, kalaupun bosen juga gw tetep aja ngadoin ini”.
Yah begitulah aku, dengan keterbatasan financial yang terus menghantui masa-masa kuliahku-yang seperti efek bedak BB Harum sari yang membuat keterbatasan itu “nempel kaya perangko”, yang menjadi identitas ke”genuine”an ku,”yah kalo ga punya duit bukan Ririn namanya,”begitulah kata-kata teman-teman meledekku. Aku selalu ingin memberikan kesan lewat hadiah di hari ulang tahunnya. Membuat harapan dalam niat tulusku, saat dompetku nanti tebal walau karena kartu kredit, atau saat handphone tercanggih di kantong celana kanan, kiri, belakang, baju, tas ku berdering, atau saat yang menadakan aku mapan “tersier oriented”, aku ingin memberinya segala sesuatu yang sampai saat ini walau dilabeli kata “SALE” tetap saja aku tak mampu membelinya.
Tapi ini sudah kali ke-lima, tanggal 16,19 Desember kulewati dengannya. Aku tahu persis dia bukan seorang yang gila hadiah. Dia dengan segala kemisteriusannya, selalu menampakkan penghargaan yang tulus atas apa yang aku beri. Tapi aku berniat mengikat janji pada label “SALE” itu. Sambil berharap aku terus bersamanya dalam ikatan takdir Tuhan.
Aku memutar otak, memacu kemalasanku untuk membuka laptop buah dari kebaikan dan kasih sayang ayahnya, aku kumpulkan ketampanannya dengan berbagai pose. Aku senyum-senyum sendiri, menyukuri nikmat Tuhan yang mengakrabkanku dengan mata sayu dan manis senyumnya. Kurangkum dalam satu bingkai, lalu memberinya nama. Ah..aku keburu girang membayangkan ini terpajang di kamarnya. Dua kado sudah kusiapkan, sambil ditemani heningnya malam, sayup mataku terpejam, memohon pada sang penguasa Nurman, ”Tuhan sekali ini lagi, lancarkan hariku bersamnya”

Tidak ada komentar: