Minggu, 12 Desember 2010

Fenomena Jakarta Sentris di Televisi : Uniformitas selera Budaya Masyarakat
Resume ini diajukan sebagai pengganti UAS dalam mata kuliah Sistem Komunikasi Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman yang semakin cepat ditandai dengan munculnya teknologi baru yang semakin canggih, menyebabkan terjadinya perubahan sosial di masyarakat. perubahan tersebut ditandai dengan adanya perubahan prilaku pada masyarakat dan salah satunya disebabkan oleh produk teknologi yang disebut “televisi” . Menurut Prof. Dr. R. Mara’at dari Unpad, acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan persepsi dan perasaan para penonton hal tersebut diakibatkan karena televisi merupakan media audiovisual, sehingga pemirsanya tidak hanya dapat menikmatinya lewat suara saja seperti halnya radio, tapi informasi lebih jelas lagi diterima karena adanya gambar. Jadi, pesan yang disampaikan oleh komunikator mudah diserap oleh komunikan. Seperti dalam teori jarum suntik dimana dampak pesan komunikasi massa yang kuat dan kurang lebih universal pada semua audiensi yang terekspos pada pesan- pesan tersebut.
Karena kelebihannya itulah, televisi menyebabakan terjadinya proses imitasi di masyarakat. Informasi diterima mentah- mentah oleh masyarakat tanpa adanya proses penyaringan terelebih dahulu. Jadi tak heran, kita akan dengan mudah melihat tampilan Agnes Monica, Pasha “Ungu”, Manohara, dan artis- artis lainnya di pakaian- pakaian masyarakat Indonesia. Fatalnya, televisi dan acara-acaranya mempengaruhi budaya, tataran normatif di masyarakat, hingga sistem sosial. Invasi acara yang dilakukan secara bebas tanpa tahapan penyeleksian dan editing yang ketat. Dan itu menimbulkan sebuah fenomena budaya apa yang disebut dengan “Jakarta-Sentris”. Untuk itulah, penulis mengambil judul “Fenomena Jakarta Sentris di Televisi : Uniformitas selera Budaya Masyarakat”, dimana dalam tulisan ini penulis mencoba membahas mengenai fenomena tersebut dan mengkajinya dengan teori- teori yang relevan. Metode yang penulis gunakan adalah metode kualitataif dengan menggunakan tinjauan pustaka untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan yang ada.
1.2 Rumusan Permasalahan
Dari uraian pada latar belakang masalah diatas, maka penulis mengambil rumusan permasalahan yaitu, bagaimana fenomena tersebut terjadi dalam Sistem Komunikasi Indonesia yang begitu kompleks, dampak- dampak yang ditimbulkan dari fenomena tersebut, dan bagaimana upaya pemerintah dalam menghadapi fenomena tersebut.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana suatu fenomena “Jakarta Centris” dalam suatu system komunikasi Indonesia yang kompleks mampu merubah kejamakan budaya dan aspek sosial masyarakat Indonesia berubah menjadi keseragaman pola pikir yang menyebabkan terkikisnya akar-akar budaya yang ada.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini akan bermanfaat bagi penulis dalam hal penerapan teori atau konsep dari ilmu komunikasi, dan juga penelitian ini dapat melatih kepekaan penulis dalam menghadapi fenomena di masyarakat, khususnya di dalam Sistem Komunikasi di Indonesia. Serta penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu informasi-informasi yang baru bagi pihak-pihak lain.


BAB II
PEMBAHASAN
Kemajuan zaman tidak hanya ditandai dengan muncul dan semakin canggihnya teknologi yang ada, tapi bagaimana teknologi tersebut mampu menembus pelosok-pelosok terpencil di suatu daerah. Salah satu produk teknologi tersebut adalah televisi. Walaupun benda berbentuk kotak tersebut telah ditemukan berpuluh-puluh tahun lalu, televisi tidak akan habis menjadi perbincangan dikalangan masyarakat, apalagi seiring dengan gaung globalisasi yang semakin kencang. Televisi saat ini menjadi suatu benda yang harus tersedia di tengah-tengah masyarakat. Keberadaannya kini tidak hanya ada di rumah-rumah beton, besar, mewah, terletak di kota, tetapi dengan mudah dapat ditemukan di rumah-rumah di desa, “gubuk”, bahkan di rumah yang terletak di pinggiran rel kereta api. Hal tersebut karena televisi kini menjadi produk yang murah dan mudah dijangkau. Semakin mudahnya mengahdirkan televisi di rumah, membuat semakin mudah juga akses informasi dari suatu daerah ke daerah lain diterima. Dalam system komunikasi Indonesia, Indonesia mempunyai sekitar 11 stasiun televisi swasta yang jangkauan siarannya nasional, dan ada puluhan televisi yang jangkauan siarannya lokal.
Indonesia adalah negara dengan kemajemukan kultural yang sudah diakui oleh dunia. Terdiri dari ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke membuat masyarakatnya mempunyai pola interaksi yang berbeda-beda, tentunya hal tersebut menyebabkan pola konteks system komunikasi di daerahnya pun berbeda- beda. Pola tersebut tidak hanya menjangakau dari segi teknisnya saja, tapi juga mengenai materi komunikasinya. Stasiun televisi yang berskala nasional tidak memfasilitasi perbedaan tersebut. Dan yang disayangkan, televisi lokal yang menjadi harapan sebagai wadah aspirasi daerahnya belum mampu menjalankan peran tersebut karena kecenderungan para pemilik modal televisi lokal tidak jauh berbeda dengan pemilik modal TV-TV di Jakarta, yaitu dominan dilatarbelakangi dengan kepentingan mengakumulasi keuntungan semata, sehingga Indonesia yang heterogen dengan ribuan suku, bahasa, adat, dan kebudayaan, dilibas oleh keterbatasan modal dan keterbatasan wawasan.
Pada faktanya, stasiun televisi, baik lokal maupun nasional, memliki kepentingan ekonomi yang begitu kuat. Hal tersebut menyebabkan mereka berlomba-lomba menampilkan tayangan yang mengikuti selera pasar. Televisi cenderung merefleksikan kultur pop yang sedang berkembang saat ini ketimbang mengeksplorasi kekayaan kultur yang dimilki negara ini. Akibatnya, kebudayaan yang kita punya lama kelamaan terkikis oleh masuknya budaya modern yang merajalela. Kondisi tersebut, salah satunya ditunjukkan dengan apa yang disebut dengan “Jakarta sentris” atau “Perspektif Jakarta”. Bicara tentang Jakarta, kini bukan saja bicara mengenai bangunan-bangunan bertingkat yang berdiri dengan megah, kemacetan, dan gambaran- gambaran fisik semacamnya, melainkan sebuah reproduksi gaya hidup: sebuah konteks kebudayaan dalam proses pengembangbiakkan dari apa yang disebut sebagai massa culture atau kebudayaan massa (meminjam kalimat dari Bre Redana dalam Mc Donald,s: Reproduksi Gaya Hidup). Jakarta sebagai pusat pemerintahan menjadi contoh sentral provinsi lainnya untuk mengikuti segalanya seperti Jakarta, mulai dari gaya hidup, interaksi masyarakatnya, bahkan budaya instan Jakarta pun pindah kedaerah hampir di seluruh Indonesia. Fenomena ini terjadi begitu saja, tidak disadari, namun dikonstruksi. Dan yang menkonstruksi adalah media televisi. Televisi, sebagi salah satu media komunikasi, yang menurut Menurut Everett M. Rogers, komunikasi adalah proses hal mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud mengubah prilaku walaupun tidak secara langsung telah membuat perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, terutama perubahan prilaku. Televisi adalah sebuah media massa yang memiliki pengertian yang sangat dasar, yakni pengertian permisif dalam arti ia berada dalam ambang batas moral, yang selalu memilki dalih masyarakat (yang notabene heterogen) sebagai tameng moralitasnya, dan pengertian massif, yang dalam arti memproduksi dunia citraan serentak tanpa alternatif . Stasiun televisi Jakarta yang berskala nasional nyatanya hanya dilatarbelakangi oeh kepentingan ekonomi semata. Mereka berusaha agar dapat mengambil keuntungan sebesar-besarnya, walaupun dengan jalan meniadakan nilai-nilai dalam materi siaran mereka. Materi siaran cenderung mengedepankan perspektif Jakarta dimana banyak gambaran masyarakatnya yang hedonis, konsumtif, modern, individualistis, dan kebarat-baratan.
Tentang hal ini, Piotr Sztompka memberikan komentar bahwa dalam periode belakangan ini unifikasi dan homogenisasi kultur pada skala global umumnya ditampilkan melalui media massa terutama melalui televisi. “ imperialisme media “ makin lama mengubah dunia menjadi ‘ dusun global ‘ dimana lingkup pengalaman kultural dan produknya pada dasarnya adalah sama. Pengaruh serupa ditimbulkan oleh kenaikan arus wisatawan yang menyebarkan pola kultur masyarakat indutri barat tempat mereka berasal.
Televisi pada dasarnya, mempunyai fungsi to inform, to educate, to entertain. Namun yang disayangkan fungsi to entertain-nya melebihi fungsi-fungsinya yang lain. Hal ini disebabkan oleh kepentingan ekonomi tadi , apalagi selain dominansi latar belakang ekonomi tersebut, para pemilik media cenderung memiliki keterbatasan pengetahuan dan kekhawatiran para pemilik media dalam bertahan di dalam persaingan media dan minimnya aspek moral yang dimilki yang menyebabkan tanggungjawab sosial mereka terhadap masyarakat ditanggalkan. Dalam situasi serba tidak siap inilah televisi-televisi swasta menciptakan, dan menyebarkan sebuah budaya tunggal yang dominan dan meminggirkan budaya-budaya lain Nusantara yang sesungguhnya beraneka dan mewujud. Sebelas stasiun televisi Jakarta mencekoki mata-telinga sembilan puluh persen penduduk Indonesia yang heterogen dengan tayangan-tayangan Jakarta sentris. Mulai berita, warta hiburan, sinetron, permainan, musik, dan panggung hiburan, semua mencerminkan masyarakat kota dengan gaya hidup mereka.
Fenomena “Jakarta Sentris” dalam sistem komunikasi Indonesia yang kompleks disebabkan oleh banyak faktor. Sebgaian besar konsentrasi distribusi keuangan Indonesia berpusat di Jakarta hal ini menyebabkan ketimpangan di berbagai aspek termasuk dalam perbedaan kemampuan mengakses informasi. Berbagai masalah yanga ada cenderung disebabkan oleh adanya jurang pemisah yang semakin luas yang keseluruhannya berakar dari lebih kurangnya kesempatan memperoleh informasi. peniadaan hak untuk memperoleh kesempatan dan menggunakan hak informasi itu dibentuk dan ditunjang oleh ketidakadilan social ekonomi.(Golding dan Murdock, 1986) Hak memperoleh kesempatan dan menggunakan informasi tidak dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Idonesia karena keterbatasan biaya untuk memasang transmisi. Hanya ada sebelas stasiun televisi yang memiliki jangkauan nasioal dan semuanya berpusat di Jakarta. Bisa dibayangkan bagaiman mungkin sebelas televisi meladeni 30 juta televisi untuk sebuah Negara dengan penduduknya yang heterogen? Akhirnya muncullah fenomena “Jakarta Sentris” sebagai kebudayaanyang tumbh karena ketidaktahuan mereka, ketidakpedulian mereka, atau ketidakpekaan mereka.
Fenomena “Jakarta Sentris” diimplikasikan dengan tayangan sinetron, iklan- iklan dan program lainnya. Penggunaan bahasa misalnya, ada bahasa-bahasa tertentu yang awalnya dimengerti bahkan diciptakan oleh masyarakat Jakarta saja atau yang biasa disebut dengan “bahasa gaul”, karena televisilah akhirnya masyarakat di daerah- daerah ikut menggunakan bahasa tersebut. Begitu juga dengan gaya berpakaian dan gaya hidup yang ditampilkan oleh aris-artis Jakarta, sekarang ini dengan mudah kita dapat melihatnya di pakaian- pakain masyarakat daerah. Fenomena ini tentunya mengkikis nilai-nilai budaya yang tertanam dalam diri masyarakat Indonesia. Bahkan nilai-nilai kesakralan seperti agama tergeser oleh hal-hal yang sifatnya semu tersebut.
Televisi kadang membuat kita terlena. Terlena seolah-olah melihat Jakarta sama dengan Indonesia. Max Lane (2007) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya masih tinggal di perkampungan dimana mereka semakin didominasi oleh ekonomi uang namun pada saat yang sama masih mempertahankan unsur masyarakat pra-industri. Dengan kata lain, Jakarta merupakan titik terpencil diantara realitas dimana secara sosial budaya, ekonomi dan politik sangat berbeda dengan provinsi lainnya. Sayangnya, tayangan televisi cenderung menggambarkan titik terpencil tadi. Tak pelak, cerita sinetron tidak jauh dari isu percintaan remaja perkotaan yang berasal dari kelas ekonomi atas dengan semua atribut sosialnya.
Menurut Allan (2006), dalam buku yang bertajuk “Contemporary Social and Sociological Theory Visualizing Social Words”, potongan-potongan gaya hidup yang ditampilkan oleh media memberikan banyak pilihan bagi pemirsa untuk memilih gaya hidup seperti apa yang akan mereka ikuti. persepsi masyarakat akan gaya hidup antara remaja laki-laki dan perempuan yang dahulu dibatasi dengan jarak dan nilai-nilai yang mengikat kini mulai bergeser menjadi permisif.dan itu terjadi tidak hanya di Jakarta, tapi sudah merebak ke kota-kota lainnya. Hal ini terkait dengan gaya hidup Kota Jakarta yang lebih mendominasi tayangan televisi yang juga dikuti oleh tayanga televisi local di seluruh penjuru Indonesia
Penyeragaman kebudayaan ini, bukan saja karena kesalahan dari pemilik media, tapi juga merupakan tanggungjawab pemerintah yang berkuasa. pemerintah yang entunya memeilki kewenangan dalam membuat regulasi haruslah menata ulang peraturan tersebut agar masyarakat menjadi sejahtera sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah yang seharusnya berpihak pada rakyat terutama rakyat kecil janganlah diintimidasi oleh kepentingan apapun baik politik maupun ekonomi. Dalam konteks ini Pemerintah yang diwakili oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) haruslah mengetahui peranannya dengan baik. karena jika KPI efektif berlaku, ia akan mampun mengendalikan KPID-KPID di seluruh Indonesia dan efisien dalam mengontrol stasiun-stasiun televisi di seluruh penjuru Indonesia.
Jika tanpa pengawasan dan penegakkan hokum yang seadil-adilnya, maka televisi Indonesia kan berkembang dengan semena-mena dan Indonesia akan kehilangan akar budayanya perlahan-lahan.

BAB III
KESIMPULAN

Fenomena “Jakrta Sentris” jauh berbahaya ketimbang dengan permasalahan lainnya. Karena memeilki dampak yang lebih luas karena akan menimbulkan kemerosotan kualitas masyarakat Indonesia dan terkikisnya akar kebudayaan Indonesia.
Fenomena ini tentunya disebabkan oleh berbagai facktor, tidak hanya dari kesalahan pemilik media yang memiliki kecenderungan ekonomi yang sangat kuat, tetapi juga ada andil dari pemerintah yang tidak menegakkan peraturan seadil- adilnya. Jika semua pihak mengetahui perannya masing- mmasing dengan baik, tentunya cita- cita menjadikan masyarakat Indonesia berkualitas bangkit mengejar bangsa-bangsa lain yang lebih maju akan tercapai.









DAFTAR PUSTAKA

• Prof. DRS. Onong Uchana Effendy, MA, Dinamika Komunikasi, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004,
• Werner J severin, Teori Komunikaasi Massa
• Koran Jakarta, 10 Oktober 2009
• Bre Redana, Potret Si Anak Kebudayaan Massa
• Sunardian Wirodono, Matikan TV-mu, Terror Media Televisi di Indonesia, Resist Book: Jogjakarta, 2006
• Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers Jakarta, 2007

Tidak ada komentar: