Rabu, 08 Agustus 2012

SUMRINGAH 1433 H part 1



Hampir kering gigi bocah sembilan tahunan itu saat menyunggingkan senyuman paling lebar sembari menenteng plastik berisi sepatu pilihannya. Sesekali ia lihat  sepatu itu dan membayangkan betapa kerennya jika sepatu itu melekat di kaki mungilnya. Namanya Andika. Bocah berkepala plontos itu rupanya punya pertimbangan matang mengapa sepatu menjadi pilihannya.“Klo beli baju ga bisa dipake ke sekolah om, klo beli sepatu abis lebaran bisa di pake sekolah,” tegas katanya saat ditanyai oleh Kak Resha mengapa ia tak membeli baju untuk ia pakai di hari raya.

Bersama 43 anak lainnya, Andika mengikuti kegiatan SUMRINGAH (senyum riang hari raya) 4 Agustus 2012 kemarin. Dalam kegiatan itu, dengan uang sejumlah Rp. 150.000,- mereka bebas memilih apa yang menjadi keinginan mereka. Tujuan kegiatan itu hanya satu, bagaimana membuat anak-anak yang kehilangan kasih sayang ayah itu dapat tersenyum selebar-lebarnya di hari raya.  Meski hari raya lebaran selalu identik dengan baju baru, seperti andika, banyak anak-anak yang memilih sepatu, biar bisa dipakai sekolah katanya. Tapi tak sedikit juga yang memilih baju, celana, dan sendal. Seperti Buti yang tak bosan-bosan mengepas-ngepaskan baju lengan panjang di badannya.
Tahun 2011, menjadi tahun pertama kami mengadakan SUMRINGAH. Ketika seorang kawan penasaran menanyakan mengapa kami mengadakan SUMRINGAH, kami mengaharu biru menceritakan apa yang menjadi latar belakang kami mengadakan kegiatan ini. Sebelumnya, kami telah mengadakan GERRAK (gerakan seragam dan alat tulis sekolah). Ada satu keluarga kecil dengan dua orang anak tanpa ayah yang hanya menggantungkan hidupnya dari upah sang ibu sebagai buruh cuci. Mereka tinggal di rumah sangat sederhana yang dibuatkan oleh warga sekitar di atas tanah yang bukan miliknya. Sang Ibu, sembari menangis menceritakan keajaiban selepas ia berdoa saat kami mendatangi rumahnya. Khusyuk memohon pada Sang Khalik ba’da solat juhur, sang ibu berdoa agar anaknya yang paling kecil bisa memiliki baju seragam panjang karena ia ingin mengenakan jilbab. Tak lama kemudian, belum juga mukena yang dikenakan ia tanggalkan, datanglah kami membawa seragam panjang untuk anaknya. Buru-buru, sang ibu memanggil anaknya yang sedang bermain di luar untuk mencoba baju seragam yang kami berikan. Tak hanya cerita bahagia itu, terselip juga kisah pedih yang dibagi oleh ibu itu kepada kami.

Senin, 07 Mei 2012

Momok Menakutkan Ujian Nasional



Hari ketujuh di Bulan Mei ini, saatnya giliran siswa Sekolah Dasar (SD) yang ketar-ketir menghadapi Ujian Nasional (UN). Berita di berbagai media massa menunjukkan bahwa UN tampaknya menjadi teror nasional. Pelaksanaannya dikawal polisi bersenjata lengkap, alih-alih menjaga “kejujuran” dalam jalannya ujian, yang ada keberadaan aparat penegak hukum ini membuat “korban” ketakutan, dan jelas korbannya adalah anak-anak Indonesia, generasi pembangun negara ini.  Serasa menyentil, keberadaan para polisi ini justru menunjukkan betapa tidak percayanya negara ini (baca : kemendikbud) pada pendidik, yang justru menyerahkannya pada polisi yang maaf-maaf saja citranya sudah busuk dengan segala intrik kepalsuan. 
UN sebagai salah satu alat evaluasi belajar rasanya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi pelajar Indonesia. Dihantui ketidaklulusan, banyak para pelajar yang merasa berat untuk menjalaninya, terlebih lagi standar angka kelulusan yang terus meningkat. Ketakutan itu acapkali menimbulkan kepanikan,  lazimnya, sebelum UN setiap sekolah melaksanakan doa dan solat istighosah, maaf-maafan, bahkan ada yang melaksanakan ritual mencuci kaki orang tua. Kesemuanya hanya untuk satu tujuan yakni : lulus ujian nasional, yah syukur-syukur dengan nilai bagus, asal lulus dulu.
Berbagai ironi muncul dalam pelaksanaan UN ini, mulai dari adanya kecurangan, permasalahan psikologis siswa yang takut, stres, sampai masalah kelulusan yang direkayasa. Tidak dipungkiri untuk mendapatkan gelar kelulusan, pihak sekolah berusaha dengan jalan apapun, meski dengan kecurangan. Inilah dalih pemerintah memandatkan aparat kepolisian untuk mengawal UN, satu alasannya : agar tidak terjadi kebocoran soal. Al hasil, ada saja kejadian di berbagai daerah dimana guru yang ditangkap polisi karena memberi bocoran jawaban kepada siswanya. Kultur yang tidak jauh berbeda yang terjadi dalam lingkungan pemangku jabatan, hamba kekuasaan, di negara ini : penuh kecurangan, kebohongan, intrik.  

Jumat, 13 April 2012

Belia Dalam Jerat Selendang


True story. Seperti Biasa, sebut saja namanya Bunga. Yatim belia ini harus merasakan pil pahit kehidupan, ayah meninggal, hidup dalam kemiskinan, Hamil di luar nikah, tak diharapkan oleh mertua, bahkan gegabah menggantungkan dunianya pada sehelai selendang. Ia gantung diri. 


           Baru saja 3 bulan merasakan bangku sekolah, Bunga harus terpaksa melepas seragam putih abu-abunya karena usia kandungannya sudah 4 bulan. Kebahagiaan sang Ibunda dengan adanya seorang dermawan yang ingin menyekolahkan anaknya itu, harus sirna karena terlenanya sang anak dengan kehidupan muda yang rentan seks bebas. Upah lelah mencuci di rumah tetangga berusaha ia cukup-cukupkan untuk kebutuhan di rumah. Ia membatin pedih, mungkin jika suami masih ada, kehidupan tak akan sesulit ini.

         Bunga masih sangat belia dan belum  punya KTP. Begitu juga dengan ayah si jabang bayi dalam rahimnya. Mereka sepantaran. Orang tua keduanya memutuskan untuk menikahkan mereka secara sirih. Bulan telah berlalu, karena kondisi rahimnya yang rapuh, Bunga tak mampu melahirkan anaknya. Hari-hari berikutnya, kehidupan Bunga semakin pahit seketika.

        “Ngapain lo masih tinggal di sini? anaklo kan udah meninggal!” hardikan sang mertua menjadi makanan sehari-hari Bunga. Ia terjepit dalam ketiadaan pilihan, anaknya memang sudah tiada tapi hak dan kewajibannya sebagai istri belum ia tanggalkan. Figur suami tak ia dapat, hanya perlakuan seperti sampah yang selalu ia rasakan. Ia pun jarang makan. Sekali dua kali ia mampu memendam beban, hingga tengah malam itu, ia tak mampu lagi menanggung derita.

         Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan saat itu malam sedang dingin-dinginnya. Mertua Bunga meradang dan bersikap semakin seenaknya.  Tas yang berisi pakaian Bunga dilemparkan keluar rumah. Bunga yang renta ditendang tanpa kasihan. Bunga membiarkan dirinya diusir dari rumah mertua.  Ia memunguti pakaiannya sambil mendengar cacian dan pintu yang digebrak kencang.

        Sambil terus sesegukan, Bunga berjalan payah menuju rumah sang ibunda. Tangisnya memecah kerumunan pemuda seumuran yang sedang hobi begadang. Nun di hadapannya kini, seorang wanita mendekap erat sambil terisak. Perih hati sang ibunda menyambut pasrah kondisi sang anak yang sia-sia. Dengan cinta, sang ibunda berucap, “Sudah neng, biar aja. Sudah tinggal di rumah aja”

Kamis, 12 April 2012

Dia tidak ada di hidupmu, di hidupku.

Dia tidak ada di hatimu, di hatiku
di ketakutanmu, di ketakutanku
kita hidup dalam genggaman IradatNya
dengan mudah kita membuat Dia murka
Dia memayungi kita dengan karuniaNya
kita tuli dan lupa akan keberADAanNYa..

Dia tidak ada di relungmu, di relungku
di masjidmu, di masjidku
sejenak raga kita menyembahNya
sesering-seringnya jiwa kita alpa
kita yang berselimutkan kesalahan
tapi kita bersujud pada keangkuhan..

Dia tidak ada di janjimu, di janjiku
di syahadatmu, syahadatku
Dia menjadikan kita khalifah pengemban amanat
tapi kita menjadikanNya citra..
kita berucap Dia lah sang Ahad
tapi tuhan-tuhan lain merajai kita.

cinta kita cinta imitasi
sembah kita sembah asal-asal
harap kita harap serakah
syukur kita syukur pamrih
Dia tidak ada di hidupmu, di hidupku. 

Jumat, 24 Februari 2012

"Anak muda yang suka meremehkan orang tua, mungkin dia sudah lupa kelak dia juga akan tua"
(Gus Mus)




Kamis, 23 Februari 2012

Lagi-lagi Impor Beras


            “Impor Beras” rasanya menjadi istilah yang akrab dan menjadi suatu kelaziman dalam kehidupan  perpanganan di Indonesia. Negeri yang dulu pernah dijadikan sebagai role model  karena keberhasilannya dalam berswasembada pangan oleh negara agraris lainnya, kini harus bergantung pada hasil produksi beras negara yang justru dahulunya mencontoh negara ini.  Pemerintah harusnya berkaca diri,  janji-janji yang mereka umbar untuk tidak lagi mengimpor beras jangan hanya sebagai  kebohongan manis yang menjadi harapan palsu bagi ratusan juta rakyat Indonesia yang sangat tergantung pada beras. Alih-alih menyelamatkan stok beras dan memenuhi kebutuhan dalam negeri, rasanya pemerintah lebih suka lumbung-lumbung Badan Usaha Logistik (Bulog) dipenuhi oleh beras negara orang dibandingkan dengan mulai menata sektor pertanian kita yang berbasis pada peningkatan produksi dalam negeri dan perlindungan terhadap hak petani.  Alih fungsi lahan pertanian dan minimnya dukungan pertanian dari pemerintah membuat petani kita harus memikul beban yang berat untuk memenuhi pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ditambah lagi cuaca ekstrim dan serangan hama mebuat kegagalan panen dimana-mana. Petani kita juga dihadapkan dengan monopoli kuasa tanah yang membuat mereka kehilangan hak-haknya.

Mari kita mulai membolak-balik media massa akhir-akhir ini. Tak perlu kita kita membuka kliping-kliping koran lama yang sudah lusuh lembab dalam gudang. Gambaran Indonesia di periode pertama SBY menjabat rasanya tak jauh berbeda dengan kesempatan kedua, pemerintahannya keranjingan impor beras!. Ironis,  Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo mengatakan, telah sepakat bahwa mulai tahun ini Bulog  tidak akan melakukan impor beras lagi. Selain itu, Bulog juga akan bersinergi terkait penyerapan beras dalam negeri sehingga kesejahteraan petani dapat meningkat. (ANTARA News, 8 Februari 2012), namun kenyataan yang terjadi adalah pemerintah lagi-lagi berencana mengimpor 2,2 juta ton beras pada tahun ini (kompas, 16 Februari 2012). Kewenangan daerah pun rasanya tidak mampu mencegah masuknya beras impor ke wilayahnya. Meski daerah mengalami surplus beras, dengan alasan tak bisa menyerap beras lokal, mental pemerintah (pusat dan daerah) rasanya sudah kecanduan dengan impor beras (lihat jpnn.com, 20 februari 2012 : “Surplus, Lampung Tetap Impor Beras” dan MedanBisnis, 24 Februari 2012 : “Bulog Sumut Pasok 20.048 Ton Beras dari Vietnam” ). Anehnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional tahun ini mencapai 37,5 ton beras, berlebih 4,5 juta ton dari jumlah konsumsi beras nasional. Bukankah kelebihan angka 4,5 juta ton itu menunjukkan kebutuhan beras terpenuhi bahkan itu dapat dimanfaatkan pemerintah sebagai stok dalam negeri?. Memang kita tidak bisa dibutakan oleh angka-angka BPS, tapi kita juga perlu khawatir dengan kebijakan pemerintah yang rasanya tidak berpihak pada rakyat ini.

ya presiden.....


kami fakir, sekolah kami miskin
ya presiden...
bagaimana kami dapat menjadi sepertimu
jika belum duduk sekolah sudah ambruk
bagaimana kami dapat belajar di sekolah
jika atapnya disanggah galah membuat kami gelisah
kami fakir..sekolah kami miskin
ya presiden...
Bagaimana kami dapat menggapai cita-cita
jika jembatan ambruk, membuat kami harus bertaruh nyawa

Bagaimana kami dapat belajar
jika buku-buku dan pungli sekolah semakin mahal

kami fakir..sekolah kami miskin
ya presiden...
kemana lagi kami berkeluh
selain kepada mu
karena kata Tuhan
kau adalah perantara Tuhan untuk  membangun sekolah ini..
Karena kata Tuhan
kau adalah perantara Tuhan agar kami menggapai cita-cita kami
kami fakir..dan sekolah kami makin prihatin
ya presiden...
sekolah perlu direnovasi
guru perlu digaji
dan kami butuh ilmu
kemana lagi kami berkeluh
jika kau tak lagi perduli
ya presiden..

Selasa, 21 Februari 2012

Setelah Solat Bersama sang Bunda, Seragam Panjang Dambaan Yuni Terkabul

Yuni dengan seragam barunya
Suatu hari di Bulan Juni,  aku dan Ririn membagi-bagikan seragam dan alat tulis sekolah yang merupakan bagian dari program Gerrak ( gerakan seragam dan alat tulis sekolah) 2011. Dengan kegiatan ini, kami berusaha ingin menyenangkan adik-adik yang ingin mempunyai seragam dan alat tulis sekolah yang baru, di awal tahun ajaran baru.
Salah satu daerah tempat kami membagi-bagikan seragam adalah daerah Serua Indah, Ciputat. Kami mendatangi rumah adik-adik yang sudah kami data sebelumnya. Kami memberinya pun dengan cara sembunyi-sembunyi karena kami tidak menginginkan adanya suatu kecemburuan dan terlebih lagi jumlah bantuannya juga sangat terbatas.
 "Rin, ada banyak orang yang nongkrong di dekat rumah Ibu Hamidah ga?", tanyaku pada Ririn.
 "Ga ada Man", jawabnya.
 "Oke, kalau begitu kita langsung dateng ke rumah Bu Hamidah ya aja Rin", tegasku.
****
Di rumah semi permanen dengan luas 2 x 3 m itu Ibu Hamidah tinggal bersama kedua orang putrinya. Suaminya sudah lama meninggal. Meski rumah yang ditempatinya itu sederhana, Ibu Hamidah dan kedua anaknya sangat mencintai rumahnya yang hanya berlantaikan tanah yang ia lapisi dengan karpet plastik itu. Rumah itu merupakan bantuan dari warga sekitar yang bergotong royong  mebuatkan rumah untuk mereka. Bagaimana tidak, dari penghasilannya sebagai buruh cuci ia hanya bisa mengantongi uang Rp. 350.000,-/bulan, jadi jangankan untuk mengontrak rumah, untuk keperluan sehari-hari saja ia kesulitan.
Dalam temaram ruangan, Yuni, anak Ibu Hamidah sedang asyik membantu ibunya melipat baju yang sudah disetrika diselingi obrolan hangat antara orang tua dan anak. Yuni tak pernah segan membantu ibunya yang rambutnya kini mulai dipenuhi uban. Kakanya Ratna, saat itu sedang tidak ada di rumah. Sampai di saat Yuni melipat baju sekolahnya yang sudah sedikit usang, ia memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginannya yang terpendam.
"Mak, Yuni  pengen deh sekolah pake baju tangan panjang. Rok panjang juga mak. Yuni  pengen sekolah pake jilbab mak", pinta Yuni kepada Ibunya.
 "Iya Ni, Insya allah emak kalo ada duit ntar mak beliin ya, Ema belum ada duit", jawab Ibu Hamidah dengan penuh kasih sayang. 

Yudi

Semenjak Subuh hari di tanggal 16 Desember 2011 pikiranku terus tertuju pada Bu Yuni. Masih terngingang-ngiang suara manjanya yang khas yang sudah lama tidak aku dengar sampai ia menelponku tiba-tiba di subuh itu.
“ Mba..Ririn..masih ingat ga aku Bu Yuni yang waktu itu ke dibawa ke Bogor.. Aku ga bisa tidur..obatnya ga ada..aku mau dibawa ke Bogor lagi. Mba Ririn bisa anter aku ga?” aku menirukan suara bu Yuni sambil melenggak-lenggokan badan gaya khasnya saat berbicara,  saat aku cerita pada Nurman peristiwa Bu Yuni menelpon ku.
Saat itu, aku dan Nurman belum bisa mengantarnya ke ke Rumah sakit Marzuki Mahdi, Bogor, tempat dimana pertama kali aku dan Nurman membawa Bu Yuni ke Rumah sakit saat ia tak berdaya.
***
                Pukul 1 malam di suatu hari dan tanggal yang aku lupa, aku dan Nurman dihubungi oleh pihak RSUD Kota Tangerang Selatan bahwa ada seorang Ibu-ibu ditemukan dalam kondisi tidak sadar di dekat tumpukkan sampah di daerah Pamulang. Ibu-ibu itu ditemukan polisi dan sempat dikira sudah tidak bernyawa. Saat peristiwa yang cukup menyita perhatian banyak warga itu, Direktur RSUD, Dr. Dahlia, sedang melintas, karena melihat keramaian dan saat itu ada polisi dari Kepolisian Sektor (Polsek) Pamulang membuat Dr. Dahlia memberhentikan mobilnya menghampiri tempat kejadian itu. akhirnya dipastikan Ibu-ibu tersebut masih hidup dan dengan segera dibawa ke RSUD Kota Tangsel. Kondisi Ibu yang bertubuh gempal itu sangat kotor dan ia merintih kesakitan. Kaos dan celana pendek yang membalut tubuhnya basah oleh air seni yang baunya sangat menyengat. Oleh pihak RSUD Ibu tersebut diduga menderita penyakit kejiawaan, yang membuat aku dan Nurman setelah dihubungi oleh pihak RSUD segera membawanya ke RS Marzuki Mahdi tempat biasa kami membawa pasien jiwa.
                Sekitar seminggu lebih sejak peristiwa itu, aku dihubungi pihak RS Marzuki Mahdi karena ada pasien yang kami jamin sudah diperbolehkan pulang. Pasien itu bernama Yuni. Aku sempat kebingungan dengan nama itu, karena seingatku aku tidak pernah mengantar pasien dengan nama itu. Tapi aku dan Nurman tidak mungkin mengelak karena jelas di surat penjamin itu tertera bermaterai nama, tanda tangan dan nomor ponselku. Dan itu mungkin saja terjadi mengingat pasien jiwa yang terlantar awalnya selalu tidak diketahui namanya dan kami membuat surat rekomendasi Dinas Sosialnya dengan nama Mr. X atau Mrs. X. Saat itu juga aku langsung menelpon Ibu Tina untuk meminjam mobil Masjid an-Nashr, Bintaro dan menghubungi temanku Kresna yang bisa menyetir mobil untuk mengantarkanku dan Nurman  ke RS Marzuki Mahdi untuk menjemput pasien itu.
                Aku dan Nurman masih dibayangi siapakah sosok pasien yang bernama Ibu Yuni itu. dalam bayangan kami, Ibu Yuni adalah pasien jiwa yang mencuri baju polisi dan memakainya yang kami dapatkan dari pihak Polsek Pondok aren. Sesampainya di Ruang Kresna, Ruang dimana Bu Yuni mendapatkan perawatan, masih menggelantung di benakku dan nurman pertanyaan siapakah Bu Yuni itu. sampai akhirnya kami melihat langsung sosok Bu Yuni yang saat itu mengenakan kaos pendek dan jilbab, aku dan Nurman masih juga tidak mengenali Bu Yuni. Aku dan Nurman terus memutar rekaman dalam otak kami yang bisa membuka tabir kisah Bu Yuni bersama kami. Akhirnya kami menyepakati bahwa Bu Yuni itu adalah pasien kami yang seminggu lalu kami antar. Wajar saja saat kami antar ke rumah sakit, wajah Bu Yuni tidak terlalu jelas karena kotor.

       Kesehatan adalah salah satu hak yang paling mendasar yang harus diperoleh warga negara tanpa terkecuali. Secara hakiki tidak ada pembeda-bedaan kelas yang menyebabkan  warga miskin di Indonesia lekat dengan stigma “Orang Miskin Dilarang Sehat”. Jelas secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk  memenuhi hak sehat setiap warga negara dan menyediakan fasilitas serta penunjangnya. 

         Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah menggulirkan program yang diharapkan bisa memenuhi hak sehat setiap rakyat Indonesia. Untuk menjamin penduduk miskin agar mampu mengakses pelayanan kesehatan, sejak tahun 2005 pemerintah telah membuat program pemeliharaan kesehatan yang bernama Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM). Akibat dari beberapa permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan program JPKMM atau yang lebih dikenal dengan program Asuransi Kesehatan Masyakat Miskin (Askeskin) ini,  pada tahun 2008 program ini berubah menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) hingga sekarang.
     Dalam kurun waktu tiga tahun sejak program Jamkesmas ini digulirkan, masih banyak ditemui permasalahan di lapangan yang menunjukkan masih sangat minim pemenuhan hak sehat untuk warga miskin. Beberapa media banyak  memberitakan warga miskin yang tidak mendapat Jamkesmas, ditolak rumah sakit, sakit tidak tertolong karena ketakutan akan pengobatan yang mahal, dll. Tidak hanya itu, sosialisasi yang minim terkait program ini menyebabkan banyak aparatur dan oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat atas jaminan pengobatan gratis ini dengan meminta uang kepada pasien dengan alasan untuk bayar obat lah, kamar lah, dll. Tak kalah sadis, marak mencuat dugaan korupsi Jamkesmas di berbagai daerah seperti yang terjadi di Brebes   ( kompas.com, 28 Juli 2011), Binjai (www.hariansumutpos.com, 20 Oktober 2011) , Sukabumi (Poskota, 11 November 2011) , dan dugaan di beberapa daerah lainnya. Tak sedikit ditemukan juga kasus adanya tindakan diskriminatif dari pihak rumah sakit terhadap pasien Jamkesmas. Tidak hanya itu, warga miskin juga dihadapi dengan masalah ketiadaan ongkos menuju ke rumah sakit. Karena tidak dipungkiri, warga miskin di negara ini bisa berada dalam kondisi tidak mempunyai uang sama sekali berhari-hari. Jadi jangankan untuk ongkos ke rumah sakit, untuk mengisi perut saja mereka kesulitan.
 Untuk tahun 2011, Pemerintah mentargetkan 19,1 juta Rumah Tangga Miskin (RTM) atau sekitar 76,4 juta warga miskin terpenuhi hak sehatnya melalui Jamkesmas, mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara nasional oleh Menteri Kesehatan. Jumlah tersebut sama dengan jumlah peserta Jamkesmas yang sama di tahun sebelumnya. Ironisnya, meski pemerintah mengklaim melalui BPS bahwa data jumlah warga miskin berkurang 15,9 juta jiwa menjadi 60,5 juta jiwa saat ini, Fakta di lapangan masih saja banyak warga miskin yang tidak mendapatkan 
pelayanan kesehatan gratis.
        Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1185 Tahun 2009 tentang Peningkatan Kepesertaan Jamkesmas bagi Panti Sosial, Penghuni Lembaga Pemasyarakatan, dan Rumah Tahanan Negara, serta Korban Bencana, menunjukkan bahwa kepersertaan Jamkesmas telah diperluas. Peserta Jamkesmas ada yang memiliki kartu sebagai identitas peserta dan ada yang tidak memiliki kartu. Adapun yang berhak menerima Jamkesmas sesuai  Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2011 adalah :

Dampak Buruk Makan dan Minum dg Berdiri


Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bersabda: Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri, Qotadah berkata:”Bagaimana dengan makan?” beliau menjawab: “Itu kebih buruk lagi”. (HR.Muslim dan Turmidzi)

Bersabda Rasulullah ,“Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan !” (HR. Muslim)

Dampak buruk makan dan minum dg berdiri :
Menyebabkan penyakit Kristal Ginjal
Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringer. Sfringer adalah suatu struktur maskuler (berotot) yg bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup.Setiap air yg diminum akan disalurkan penyaringan yg berada di ginjal. Jka kita minum sambil berdiri mk otomatis masuk tanpa disaring lagi. Langsung menuju kandung kemih shg terjadi pengendapan di saluran sepanjang perjalanan (ureter). Karena banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter inilah yg menyebabkn penyakit Kristal Ginjal. (Diperkuat pendapt Imam Ibnu Qayyim Al Jauzzi)

" Rasulullah memang pernah sekali minum dg berdiri ketika dlm kondisi tdk memungkinkn utk duduk,
 tapi tidak menjadi kebiasaan."
Merusak saluran pencernaan
Makanan&minuman dg berdiri menyebabkan saluran pencernaan menerima langsung dg keras shg dlm jangka panjang akan menyebabkan kerusakan (Dr. Abdurrazzaq Al-Kailani)

Tidak menyebabkan ketenangan, krn ketika berdiri otor pencernaan tegang, organ keseimbangan dalam pusat saraf sedang bekerja keras (Dr. Ibrahim Al-Rawi)

Menyebabkan Pingsan/Kematian Mendadak
Makanan&minuman yg disantap pada saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yg dilakukan oleh reaksi saraf
kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yg mengelilingi usus. Refleksi ini apabila terjadi secara keras dan tiba-tiba, bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf (Vagal Inhibition) yang parah, untuk menghantarkan detak
mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak (Dr Ibrahim Al Rawi)


Senin, 02 Januari 2012

Surat Untuk Firman


"Surat Untuk Firman " adalah surat yang dikirimkan oleh E.S. Ito, seorang penulis buku, kepada kapten kesebelasan tim nasional, Firman Utina. Saat membacanya setahun yang lalu, saya sangat suka dengan isi surat ini. 

Surat Untuk Firman
Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.
 

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata "bisa" belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.
 

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.
 

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan.