Kamis, 23 Februari 2012

Lagi-lagi Impor Beras


            “Impor Beras” rasanya menjadi istilah yang akrab dan menjadi suatu kelaziman dalam kehidupan  perpanganan di Indonesia. Negeri yang dulu pernah dijadikan sebagai role model  karena keberhasilannya dalam berswasembada pangan oleh negara agraris lainnya, kini harus bergantung pada hasil produksi beras negara yang justru dahulunya mencontoh negara ini.  Pemerintah harusnya berkaca diri,  janji-janji yang mereka umbar untuk tidak lagi mengimpor beras jangan hanya sebagai  kebohongan manis yang menjadi harapan palsu bagi ratusan juta rakyat Indonesia yang sangat tergantung pada beras. Alih-alih menyelamatkan stok beras dan memenuhi kebutuhan dalam negeri, rasanya pemerintah lebih suka lumbung-lumbung Badan Usaha Logistik (Bulog) dipenuhi oleh beras negara orang dibandingkan dengan mulai menata sektor pertanian kita yang berbasis pada peningkatan produksi dalam negeri dan perlindungan terhadap hak petani.  Alih fungsi lahan pertanian dan minimnya dukungan pertanian dari pemerintah membuat petani kita harus memikul beban yang berat untuk memenuhi pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ditambah lagi cuaca ekstrim dan serangan hama mebuat kegagalan panen dimana-mana. Petani kita juga dihadapkan dengan monopoli kuasa tanah yang membuat mereka kehilangan hak-haknya.

Mari kita mulai membolak-balik media massa akhir-akhir ini. Tak perlu kita kita membuka kliping-kliping koran lama yang sudah lusuh lembab dalam gudang. Gambaran Indonesia di periode pertama SBY menjabat rasanya tak jauh berbeda dengan kesempatan kedua, pemerintahannya keranjingan impor beras!. Ironis,  Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo mengatakan, telah sepakat bahwa mulai tahun ini Bulog  tidak akan melakukan impor beras lagi. Selain itu, Bulog juga akan bersinergi terkait penyerapan beras dalam negeri sehingga kesejahteraan petani dapat meningkat. (ANTARA News, 8 Februari 2012), namun kenyataan yang terjadi adalah pemerintah lagi-lagi berencana mengimpor 2,2 juta ton beras pada tahun ini (kompas, 16 Februari 2012). Kewenangan daerah pun rasanya tidak mampu mencegah masuknya beras impor ke wilayahnya. Meski daerah mengalami surplus beras, dengan alasan tak bisa menyerap beras lokal, mental pemerintah (pusat dan daerah) rasanya sudah kecanduan dengan impor beras (lihat jpnn.com, 20 februari 2012 : “Surplus, Lampung Tetap Impor Beras” dan MedanBisnis, 24 Februari 2012 : “Bulog Sumut Pasok 20.048 Ton Beras dari Vietnam” ). Anehnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional tahun ini mencapai 37,5 ton beras, berlebih 4,5 juta ton dari jumlah konsumsi beras nasional. Bukankah kelebihan angka 4,5 juta ton itu menunjukkan kebutuhan beras terpenuhi bahkan itu dapat dimanfaatkan pemerintah sebagai stok dalam negeri?. Memang kita tidak bisa dibutakan oleh angka-angka BPS, tapi kita juga perlu khawatir dengan kebijakan pemerintah yang rasanya tidak berpihak pada rakyat ini.
Bulog  berdalih telah menyiapkan letter of credit (L/C) senilai Rp3 triliun untuk menyerap beras dalam negeri yang membuat harga pembelian akan berada pada kisaran Rp6.500/kg-Rp6.600/kg  untuk di Pulau Jawa hingga Aceh. Namun serapan beras produksi petani oleh Bulog masih jauh kalah oleh serapan yang dilakukan swasta. Harga beras di pasar internasional lebih murah dibandingkan harga dalam negeri, hal ini mungkin saja disebabkan karena keikutsertaan Indonesia dalam World Trade Organization (WTO) yang membuat pemerintah harus menyepakati pengurangan bea cukai termasuk untuk hasil pertanian. Apalagi perlindungan dan dukungan pemerintah terhadap produksi dalam negeri sangat minim. Inilah yang menyengsarakan petani. Jangankan untuk berkompetisi di dunia perberasan internasional, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri saja petani kita sangat tidak dilindungi. Lagipula, bukankah dengan mengimpor beras maka Indonesia harus mengurangi devisa negara?
Seharusnya di tengah surplus beras nasional, pemerintah mengutamakan penyerapan beras lokal dan tidak perlu impor. Seperti diketahui, dari 2,75 juta ton beras impor yang dibeli Bulog tahun lalu, terbanyak datang dari Vietnam yaitu 1,78 juta ton dengan nilai US$ 946,5 juta. Sementara beras dari Thailand sebanyak 938,7 ribu ton dengan nilai US$ 533 juta. Tak ketinggalan beras impor dari Cina pun juga merajah ke Indonesia sepanjang tahun lalu, yaitu 4,7 ribu ton dengan nilai US$ 15,5 juta. Belum lagi dari dari negara lainnya seperti Pakistan dan Jepang.  Semoga saja pemerintah kita tidak lagi mengulangi apalagi memperbesar angka-angka itu dalam tahun ini.
Secercah harapan muncul dari janji pemerintah yang menyatakan akan mencetak sekitar 100.093 hektar lahan sawah baru dengan menyiapkan anggaran sebesar Rp. 1,4 T. Idealnya, kebijakan itu harus diimbangi dengan memperbaiki pendukung-pendukung pertanian  lainnya, seperti infrastruktur pertanian, meningkatkan kualitas dan kesejahteraan petani, melindungi harga dalam negeri dengan menaikkan harga pembelian pemerintah, dan mulai menanamkan diri untuk stop pada impor beras. Dengan mengoptimalkan kemampuan negara sendiri, kebutuhan dalam negeri terpenuhi, para petani tak lagi sengsara, APBN dapat dialokasikan untuk kebutuhan lain, dan kita bisa kembali ke masa jaya sebagai negeri yang berhasil berswasembada pangan. Semoga!


Tidak ada komentar: