True story. Seperti Biasa, sebut saja namanya Bunga. Yatim belia ini harus merasakan pil pahit kehidupan, ayah meninggal, hidup dalam kemiskinan, Hamil di luar nikah, tak diharapkan oleh mertua, bahkan gegabah menggantungkan dunianya pada sehelai selendang. Ia gantung diri.
Baru saja 3 bulan merasakan bangku sekolah, Bunga harus terpaksa melepas seragam putih abu-abunya karena usia kandungannya sudah 4 bulan. Kebahagiaan sang Ibunda dengan adanya seorang dermawan yang ingin menyekolahkan anaknya itu, harus sirna karena terlenanya sang anak dengan kehidupan muda yang rentan seks bebas. Upah lelah mencuci di rumah tetangga berusaha ia cukup-cukupkan untuk kebutuhan di rumah. Ia membatin pedih, mungkin jika suami masih ada, kehidupan tak akan sesulit ini.
Bunga masih sangat belia dan belum punya KTP. Begitu juga dengan ayah si jabang bayi dalam rahimnya. Mereka sepantaran. Orang tua keduanya memutuskan untuk menikahkan mereka secara sirih. Bulan telah berlalu, karena kondisi rahimnya yang rapuh, Bunga tak mampu melahirkan anaknya. Hari-hari berikutnya, kehidupan Bunga semakin pahit seketika.
“Ngapain lo masih tinggal di sini? anaklo kan udah meninggal!” hardikan sang mertua menjadi makanan sehari-hari Bunga. Ia terjepit dalam ketiadaan pilihan, anaknya memang sudah tiada tapi hak dan kewajibannya sebagai istri belum ia tanggalkan. Figur suami tak ia dapat, hanya perlakuan seperti sampah yang selalu ia rasakan. Ia pun jarang makan. Sekali dua kali ia mampu memendam beban, hingga tengah malam itu, ia tak mampu lagi menanggung derita.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan saat itu malam sedang dingin-dinginnya. Mertua Bunga meradang dan bersikap semakin seenaknya. Tas yang berisi pakaian Bunga dilemparkan keluar rumah. Bunga yang renta ditendang tanpa kasihan. Bunga membiarkan dirinya diusir dari rumah mertua. Ia memunguti pakaiannya sambil mendengar cacian dan pintu yang digebrak kencang.
Sambil terus sesegukan, Bunga berjalan payah menuju rumah sang ibunda. Tangisnya memecah kerumunan pemuda seumuran yang sedang hobi begadang. Nun di hadapannya kini, seorang wanita mendekap erat sambil terisak. Perih hati sang ibunda menyambut pasrah kondisi sang anak yang sia-sia. Dengan cinta, sang ibunda berucap, “Sudah neng, biar aja. Sudah tinggal di rumah aja”
Hari itu, Bunga berencana ke rumah kawannya. Melepas beban, diceritakannya penderitaan yang selama ini menimpanya. Raut mukanya layu . Sorot matanya kosong. Sesekali ia melamun, tak tertahan air mata mulai jatuh membasahi pipinya, katanya putus asa , “gue mau nyusul anak gue.” Sang kawan, mungkin tak pernah bisa membayangkan betapa menakutkan dan pedihnya derita yang dirasakan Bunga. Berusaha menghibur, teman Bunga mengajaknya ke suatu tempat. Bunga menolak, ia memilih pulang ke rumah.
Pagi itu, sebelum berangkat kerja menjadi buruh cuci, Ibu Bunga menghampiri anaknya di kamar. Tak ada gelagat mencurigakan yang diperlihatkan anaknya itu, Bunga hanya terus mengenggam selendang milik sang kaka yang baru saja ia ambil dari dalam lemari. Pikir si Ibu mungkin Bunga ingin mengaji.
“Ibu mau kerja dulu ya, kalau mau makan pesen aja di warteg Mba Yati, nanti sepulang kerja ibu bayar.”
“Iya Bu, Bunga mau istirahat aja.”
SuaraBunga terlanjur lenyap untuk terakhir kalinya. Seiring pintu kamar yang ditutup, seiring derap langkah sang Ibu mencari nafkah. Tinggal sorot matanya yang lelah sehabis menangis semalaman menerawang atap-atap langit, tersaput kesedihan yang tak mampu membersitkan isyarat ataupun tanda mencurigakan bagi sang Bunda. Ia mencoba menggapai kayu dengan kursi di kamarnya. Sang kakak sedang terlelap tidur, dan ia sibuk mengaitkan selendang di sela kayu yang lembab. Dibacanya sekali lagi surat yang telah ia tuliskan dengan tinta kepedihan. Di belia usianya, ia harus menapaki kehidupan yang begitu pahit. tak punya cita-cita, tak punya harap hidup. Baginya hidup isinya cuma kepedihan belaka. Mungkin Bunga lupa pada sang Ibunda.
****
“Bunga gantung diri”, teriak Bu latifah, bibi Bunga. Ia terkulai lemas dengan tubuh gemetar melihat apa yang di hadapannya. Tubuh Bunga masih hangat, matanya mendelik dengan lidah menjulur keluar. Sontak Bu Ruminah, tetangga Bunga berlari sekuat tenaga menghampiri Bu Latifah yang terkulai lemas. Ia pun tak mampu berkata-kata. Bibirnya kelu, matanya berkaca-kaca tak sanggup melihat belia itu kini tak bernyawa dengan selendang yang menjerat lehernya. Buru-buru ia berteriak ke luar rumah. Memanggil tetangga yang buru-buru berdatangan. Ada yang memanggil polisi, ada yang ke tempat ibu Bunga bekerja. Sisa kerumunan hanya menatap ngeri dan menerka-nerka mengapa Bunga melakukan itu. Tak ada yang berani menyentuh, takut-takut kesalahan di hadapan aparat hukum.
***
Perlahan, jenazah Bunga yang tergantung diturunkan oleh polisi yang dibantu oleh beberapa warga laki-laki. Ibunda Bunga tergolek lemas. Isak tangisnya menyesakkan. Tubuhnya dingin, daster yang dikenakannya basah karena air mata. Sekuat tenaga Ia menunaikan pelukan selamat tinggal kepada anaknya yang kaku. Ia semakin mengeratkan pelukan dan mengusap-usap lembut rambut anaknya sembari meratap. Tak lama, seorang tetangga menyerahkan sepucuk surat yang tergeletak tak jauh dari tempatnya kini. Sepucuk surat yang menegaskan penderitaan anaknya selama ini.
“……Ibu mertua gw jahat sama gue. Dia memperlakukan gue seperti sampah yang ga ada harganya mentang-mentang gue udah ga punya anak lagi. Dia nendang gue padahal waktu itu tengah malam, gue diusir dari rumahnya. Gue pernah ditampar, ga dikasih makan. Tapi Bapak mertua gue orangnya baik, dia sayang sama gue. tapi dia sekarang sakit. gw berdoa semoga dia sembuh dari penyakitnya. Tapi gue udah ga kuat lagi. Gue mau mati aja. Gue mau nyusul anak gue. …”
Masih dengan mata yang sembab, Sang Ibunda terus membaca setiap kata kepedihan. Ia lekatkan surat itu dalam linangan air mata yang membasahi wajahnya. Ia mengelus dada berusaha menegarkan diri. Dalam lafadz-lafadz tegarnya pada Sang Ghafur terdengar sayup-sayup beritaduka dari pengeras suara masjid yang tak jauh dari rumahnya, “sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita kembali”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar