Senin, 07 Mei 2012

Momok Menakutkan Ujian Nasional



Hari ketujuh di Bulan Mei ini, saatnya giliran siswa Sekolah Dasar (SD) yang ketar-ketir menghadapi Ujian Nasional (UN). Berita di berbagai media massa menunjukkan bahwa UN tampaknya menjadi teror nasional. Pelaksanaannya dikawal polisi bersenjata lengkap, alih-alih menjaga “kejujuran” dalam jalannya ujian, yang ada keberadaan aparat penegak hukum ini membuat “korban” ketakutan, dan jelas korbannya adalah anak-anak Indonesia, generasi pembangun negara ini.  Serasa menyentil, keberadaan para polisi ini justru menunjukkan betapa tidak percayanya negara ini (baca : kemendikbud) pada pendidik, yang justru menyerahkannya pada polisi yang maaf-maaf saja citranya sudah busuk dengan segala intrik kepalsuan. 
UN sebagai salah satu alat evaluasi belajar rasanya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi pelajar Indonesia. Dihantui ketidaklulusan, banyak para pelajar yang merasa berat untuk menjalaninya, terlebih lagi standar angka kelulusan yang terus meningkat. Ketakutan itu acapkali menimbulkan kepanikan,  lazimnya, sebelum UN setiap sekolah melaksanakan doa dan solat istighosah, maaf-maafan, bahkan ada yang melaksanakan ritual mencuci kaki orang tua. Kesemuanya hanya untuk satu tujuan yakni : lulus ujian nasional, yah syukur-syukur dengan nilai bagus, asal lulus dulu.
Berbagai ironi muncul dalam pelaksanaan UN ini, mulai dari adanya kecurangan, permasalahan psikologis siswa yang takut, stres, sampai masalah kelulusan yang direkayasa. Tidak dipungkiri untuk mendapatkan gelar kelulusan, pihak sekolah berusaha dengan jalan apapun, meski dengan kecurangan. Inilah dalih pemerintah memandatkan aparat kepolisian untuk mengawal UN, satu alasannya : agar tidak terjadi kebocoran soal. Al hasil, ada saja kejadian di berbagai daerah dimana guru yang ditangkap polisi karena memberi bocoran jawaban kepada siswanya. Kultur yang tidak jauh berbeda yang terjadi dalam lingkungan pemangku jabatan, hamba kekuasaan, di negara ini : penuh kecurangan, kebohongan, intrik.  
Betapa mengerikan bertahun-tahun menjalani proses belajar mengajar di sekolah, semua ditentukan dalam hari-hari menegangkan ujian nasional. Kenyataan itu terasa sangat pahit , terlebih lagi seperti kejadian yang menimpa siswa yang  telah dinyatakan lulus PMDK di salah satu perguruan tinggi terbaik, harus menelan pil pahit karena tidak lulus UN.  (coba baca :kompas.com). Belum lagi jika kita berlanjut membicarakan anggaran pendidikan negara ini.
Dalam PP No. 19/2005 menjelaskan bahwa UN bukanlah satu-satunya alat evaluasi sebagai kriteria penentu kelulusan dalam proses belajar mengajar, ada perangkat lain seperti penilaian guru/sekolah yang diwujudkan dalam Ujian Sekolah (US). Akan tetapi, rasa-rasanya UN yang diklaim bukan sebagai satu-satunya syarat menjadi mutlak penentu kelulusan, dimana meski siswa lulus dimata pelajaran yang di US kan jika tidak lulus di  bahkan satu saja dalam pelajaran yang di UN kan  berarti ia dinyatakan tidak lulus keseluruhan. Kondisi US mungkin saja tidak terlalu mengkhawatirkan, karena guru, sebagai pelaku dalam proses belajar mengajar tentunya akan menyesuaikan US dengan  pelajaran dan kemampuan siswa selama proses belajar tiga tahun lamanya, sedangkan UN itu dibuat pemerintah, distandarkan pemerintah secara nasional, dimana kondisi pendidikan di setiap daerah berbeda-beda. Terlebih lagi, ketimpangan segala akses menyangkut pendidikan daerah di Indonesia tidak dapat dielakkan. Kota selalu menjadi yang terspesial, sedangkan pelosok selalu terbelakang, baik dalam segi sarana prasarana, akses, kurikulum, kompetensi, keberadaan tenaga pengajar, dll (yang patut juga direlevansikan dengan kondisi kemiskinan yang merajalela daerah pelosok). Seharusnya, kalau UN dijadikan alat evaluasi terstandar yang menasional, pemerintah patut berupaya mengarahkan pendidikan di seluruh daerah di Indonesia tanpa terkecuali menuju pendidikan yang terstandarkan, artinya tidak ada ketimpangan. Jika tidak begitu, sungguh wajar UN menjadi fenomena yang selalu mengundang pro kontra.
Jika tak bisa lagi dielakkan, UN sebagai alat evaluasi belajar di sekolah, sejatinya menjadi alat evaluasi untuk pemerintah menyikapi potret pendidikan di negara ini. Pendidikan dapat menjadi pemutus satu bahkan seluruh rantai kemiskinan dan segala permasalahan di negara ini jika segala hal yang menyangkut pendidikan ini diperbaiki. Janganlah menjadi ironi, anggaran pendidikan besar, pendidikan Indonesia masih rendah. Masih banyak anak usia sekolah yang tidak dapat mengenyam pendidikan, bangunan sekolah masih banyak yang tidak layak, ketiadaan guru di daerah-daerah pelosok, guru-guru tidak sejahtera dan tidak memiliki kesempatan luas untuk meningkatkan kompetensinya,  ditambah lagi korupsi di dunia pendidikan yang menggegorogoti. Dan yang tak boleh luput, cita-cita mewujudkan pendidikan Indonesia yang berkarakter perlu terus digalakkan dan jangan hanya menjadi wacana, demi melahirkan pribadi-pribadi yang unggul untuk memajukan negara ini ke arah yang lebih baik.
***



Tidak ada komentar: