Selasa, 21 Februari 2012


       Kesehatan adalah salah satu hak yang paling mendasar yang harus diperoleh warga negara tanpa terkecuali. Secara hakiki tidak ada pembeda-bedaan kelas yang menyebabkan  warga miskin di Indonesia lekat dengan stigma “Orang Miskin Dilarang Sehat”. Jelas secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk  memenuhi hak sehat setiap warga negara dan menyediakan fasilitas serta penunjangnya. 

         Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah menggulirkan program yang diharapkan bisa memenuhi hak sehat setiap rakyat Indonesia. Untuk menjamin penduduk miskin agar mampu mengakses pelayanan kesehatan, sejak tahun 2005 pemerintah telah membuat program pemeliharaan kesehatan yang bernama Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM). Akibat dari beberapa permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan program JPKMM atau yang lebih dikenal dengan program Asuransi Kesehatan Masyakat Miskin (Askeskin) ini,  pada tahun 2008 program ini berubah menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) hingga sekarang.
     Dalam kurun waktu tiga tahun sejak program Jamkesmas ini digulirkan, masih banyak ditemui permasalahan di lapangan yang menunjukkan masih sangat minim pemenuhan hak sehat untuk warga miskin. Beberapa media banyak  memberitakan warga miskin yang tidak mendapat Jamkesmas, ditolak rumah sakit, sakit tidak tertolong karena ketakutan akan pengobatan yang mahal, dll. Tidak hanya itu, sosialisasi yang minim terkait program ini menyebabkan banyak aparatur dan oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat atas jaminan pengobatan gratis ini dengan meminta uang kepada pasien dengan alasan untuk bayar obat lah, kamar lah, dll. Tak kalah sadis, marak mencuat dugaan korupsi Jamkesmas di berbagai daerah seperti yang terjadi di Brebes   ( kompas.com, 28 Juli 2011), Binjai (www.hariansumutpos.com, 20 Oktober 2011) , Sukabumi (Poskota, 11 November 2011) , dan dugaan di beberapa daerah lainnya. Tak sedikit ditemukan juga kasus adanya tindakan diskriminatif dari pihak rumah sakit terhadap pasien Jamkesmas. Tidak hanya itu, warga miskin juga dihadapi dengan masalah ketiadaan ongkos menuju ke rumah sakit. Karena tidak dipungkiri, warga miskin di negara ini bisa berada dalam kondisi tidak mempunyai uang sama sekali berhari-hari. Jadi jangankan untuk ongkos ke rumah sakit, untuk mengisi perut saja mereka kesulitan.
 Untuk tahun 2011, Pemerintah mentargetkan 19,1 juta Rumah Tangga Miskin (RTM) atau sekitar 76,4 juta warga miskin terpenuhi hak sehatnya melalui Jamkesmas, mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara nasional oleh Menteri Kesehatan. Jumlah tersebut sama dengan jumlah peserta Jamkesmas yang sama di tahun sebelumnya. Ironisnya, meski pemerintah mengklaim melalui BPS bahwa data jumlah warga miskin berkurang 15,9 juta jiwa menjadi 60,5 juta jiwa saat ini, Fakta di lapangan masih saja banyak warga miskin yang tidak mendapatkan 
pelayanan kesehatan gratis.
        Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1185 Tahun 2009 tentang Peningkatan Kepesertaan Jamkesmas bagi Panti Sosial, Penghuni Lembaga Pemasyarakatan, dan Rumah Tahanan Negara, serta Korban Bencana, menunjukkan bahwa kepersertaan Jamkesmas telah diperluas. Peserta Jamkesmas ada yang memiliki kartu sebagai identitas peserta dan ada yang tidak memiliki kartu. Adapun yang berhak menerima Jamkesmas sesuai  Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2011 adalah :
a. Peserta yang memiliki kartu adalah peserta sesuai Surat Keputusan Bupati/Walikota.
b. Peserta yang tidak memiliki kartu terdiri dari :
  1. Gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar serta penghuni panti sosial pada saat      mengakses pelayanan kesehatan dengan menunjukkan surat rekomendasi dari Dinas Sosial setempat.
   2. Penghuni Lapas dan Rutan pada saat mengakses pelayanan kesehatan dengan menunjukkan rekomendasi dari Kepala Lapas/Rutan.
   3. Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) yang t idak memiliki kartu Jamkesmas pada saat mengakses pelayanan kesehatan dengan menunjukkan kartu PKH.
   4. Bayi dan anak yang lahir dari pasangan (suami dan istri) peserta Jamkesmas setelah terbitnya SK Bupati/Walikota, dapat mengakses pelayanan kesehatan dengan menunjukkan akte kelahiran/surat kenal lahir/surat keterangan lahir/pernyataan dari tenaga kesehatan, kartu Jamkesmas orang tua dan Kartu Keluarga orangtuanya. Bayi yang lahir dari pasangan yang hanya salah satunya memiliki kartu jamkesmas tidak dijamin dalam program ini.
  5. Korban bencana pasca tanggap darurat, kepesertaannya berdasarkan keputusan Bupati/Walikota setempat sejak tanggap darurat dinyatakan selesai dan berlaku selama satu tahun.
  6. Sasaran yang dijamin oleh Jaminan Persalinan yaitu: ibu hamil, ibu bersalin/ibu nifas dan bayi baru lahir.
  7. Penderita Thalassaemia Mayor.

        Dalam rangka memperluas cakupan kepesertaan di luar kuota sasaran yang sudah tercakup dalam program Jamkesmas (Nasional), Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang memiliki kemampuan sumber daya memadai berkewajiban untuk memenuhi warganya untuk mendapatkan kesehatan. Kewajiban ini dapat dijalankan dengan mengelola dan mengembangkan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) didaerahnya masing-masing.
           Selain itu, pemerintah juga telah membuat program kesehatan yang diperuntukkan untuk ibu hamil yang disebut Jaminan Persalinan (Jampersal) yang pelaksanaannya berdasakan Petunjuk Teknis Jampersal 2011. Dengan adanya Jampersal ini diharapkan mampu menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) yang menurut BPS menunjukkan angka yang masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 269 per-10.000 kelahiran hidup dan AKI sebesar 248 per-100.000 kelahiran hidup serta Umur Harapan Hidup (UHH) 70,5 tahun.
          Tentunya kita tidak bisa melulu menyalahi pemerintah karena persoalan ini. Tidak dipungkiri, memang pemerintah kita belum optimal dalam melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak sehat warganya. Namun kita juga kita tidak bisa lepas andil membantu pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kita patut apresiasi terhadap program pemerintah yang pro rakyat ini meski dalam pelaksanaannya ada cacat di sana sini. Kita bisa mencurahkan tenaga, materi, pikiran, perhatian kita untuk saudara kita yang sakit dan tidak terpenuhi hak sehatnya. Atau dengan mensosialisasikan program ini kepada warga yang tidak mampu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Semoga "Langkah Nyata Sebuah Kepedulian" kita mampu menjadi solusi untuk permasalahan di negara ini. Amin.

Tidak ada komentar: