Semenjak Subuh hari di tanggal 16 Desember 2011 pikiranku terus tertuju pada Bu Yuni. Masih terngingang-ngiang suara manjanya yang khas yang sudah lama tidak aku dengar sampai ia menelponku tiba-tiba di subuh itu.
“ Mba..Ririn..masih ingat ga aku Bu Yuni yang waktu itu ke dibawa ke Bogor.. Aku ga bisa tidur..obatnya ga ada..aku mau dibawa ke Bogor lagi. Mba Ririn bisa anter aku ga?” aku menirukan suara bu Yuni sambil melenggak-lenggokan badan gaya khasnya saat berbicara, saat aku cerita pada Nurman peristiwa Bu Yuni menelpon ku.
Saat itu, aku dan Nurman belum bisa mengantarnya ke ke Rumah sakit Marzuki Mahdi, Bogor, tempat dimana pertama kali aku dan Nurman membawa Bu Yuni ke Rumah sakit saat ia tak berdaya.
***
Pukul 1 malam di suatu hari dan tanggal yang aku lupa, aku dan Nurman dihubungi oleh pihak RSUD Kota Tangerang Selatan bahwa ada seorang Ibu-ibu ditemukan dalam kondisi tidak sadar di dekat tumpukkan sampah di daerah Pamulang. Ibu-ibu itu ditemukan polisi dan sempat dikira sudah tidak bernyawa. Saat peristiwa yang cukup menyita perhatian banyak warga itu, Direktur RSUD, Dr. Dahlia, sedang melintas, karena melihat keramaian dan saat itu ada polisi dari Kepolisian Sektor (Polsek) Pamulang membuat Dr. Dahlia memberhentikan mobilnya menghampiri tempat kejadian itu. akhirnya dipastikan Ibu-ibu tersebut masih hidup dan dengan segera dibawa ke RSUD Kota Tangsel. Kondisi Ibu yang bertubuh gempal itu sangat kotor dan ia merintih kesakitan. Kaos dan celana pendek yang membalut tubuhnya basah oleh air seni yang baunya sangat menyengat. Oleh pihak RSUD Ibu tersebut diduga menderita penyakit kejiawaan, yang membuat aku dan Nurman setelah dihubungi oleh pihak RSUD segera membawanya ke RS Marzuki Mahdi tempat biasa kami membawa pasien jiwa.
Sekitar seminggu lebih sejak peristiwa itu, aku dihubungi pihak RS Marzuki Mahdi karena ada pasien yang kami jamin sudah diperbolehkan pulang. Pasien itu bernama Yuni. Aku sempat kebingungan dengan nama itu, karena seingatku aku tidak pernah mengantar pasien dengan nama itu. Tapi aku dan Nurman tidak mungkin mengelak karena jelas di surat penjamin itu tertera bermaterai nama, tanda tangan dan nomor ponselku. Dan itu mungkin saja terjadi mengingat pasien jiwa yang terlantar awalnya selalu tidak diketahui namanya dan kami membuat surat rekomendasi Dinas Sosialnya dengan nama Mr. X atau Mrs. X. Saat itu juga aku langsung menelpon Ibu Tina untuk meminjam mobil Masjid an-Nashr, Bintaro dan menghubungi temanku Kresna yang bisa menyetir mobil untuk mengantarkanku dan Nurman ke RS Marzuki Mahdi untuk menjemput pasien itu.
Aku dan Nurman masih dibayangi siapakah sosok pasien yang bernama Ibu Yuni itu. dalam bayangan kami, Ibu Yuni adalah pasien jiwa yang mencuri baju polisi dan memakainya yang kami dapatkan dari pihak Polsek Pondok aren. Sesampainya di Ruang Kresna, Ruang dimana Bu Yuni mendapatkan perawatan, masih menggelantung di benakku dan nurman pertanyaan siapakah Bu Yuni itu. sampai akhirnya kami melihat langsung sosok Bu Yuni yang saat itu mengenakan kaos pendek dan jilbab, aku dan Nurman masih juga tidak mengenali Bu Yuni. Aku dan Nurman terus memutar rekaman dalam otak kami yang bisa membuka tabir kisah Bu Yuni bersama kami. Akhirnya kami menyepakati bahwa Bu Yuni itu adalah pasien kami yang seminggu lalu kami antar. Wajar saja saat kami antar ke rumah sakit, wajah Bu Yuni tidak terlalu jelas karena kotor.
Menurut info dari pihak RS Marzuki Mahdi, Ibu Yuni memiliki keluarga. Dalam perjalanan pulang aku, Kresna dan Nurman mencoba berkelakar dengan Bu Yuni yang saat itu duduk di sebelahku. Perjalanan kami diiringi dengan nyanyian lagu lawas yang ditembangkan oleh bu Yuni. Iya juga bercerita dengan gaya khas nya tentang dirinya dan keluarganya.
“Aku bingung ko bisa sampai ke Bogor ya..”
“ Iya Bu, kita temuin ibu di jalan trus kita bawa ke Bogor. Waktu itu Ibu mau kemana?”tanya Nurman diselingi canda.
“Iya, aku tuh suka banget jalan-jalan..aku mau ke Jawa jalan kaki. Aku tuh sering ngilang. Trus tidur di jalan” ungkap bu Yuni dengan geliat badannya.
“Jangan suka jalan sendiri bu…nanti keluarganya mencari”kataku
“Iya pasti suami dan anak aku nyariin deh..aku masih bingung kok bisa ya sampai ke Bogor..”
“ Mas-mas ini ko ganteng-ganteng ya..sudah panya pacar belum? Pasti orangnya baik deh” goda Bu Yuni kepada Kresna dan Nurman sambil terus tertawa.
“Oiya maap lo aku makan…abisnya aku ga puasa..” maafnya kepada Nurman dan Kresna karena makan dihadapan mereka yang saat itu berpuasa, memang waktu itu adlah Bulan Ramadhan.
Perjalan kami saat itu sangat ceria karena Bu Yuni sangat lucu. Bicaranya sedikit manja..dan terkadang menggelegar seperti Presiden Megawati berpidato. Tatapan matanya yang ku lihat seperti kosong. Agak ngeri juga aku duduk disampingnya, takut tiba-tiba Bu Yuni kumat. Tapi ketakutanku meleset. Perjalanan dipenuhi canda tawa dan cerita yang tidak mungkin, aku, Nurman, dan Kresna lupa. Bu Yuni kami minta untuk mengingat rumahnya. Dan sesampainya kami di daerah sekitar Polsek Pesanggrahan Bintaro, Bu Yuni langsung akrab dengan daerah itu. Ia pun menegur para penjual jajanan buka puasa yang raut mukanya sedikit bingung karena rupanya Bu Yuni yang biasa wara-wiri di daerah itu sudah lama menghilang.
Gang-gang sempit kami lewati untuk mencapai rumah Bu Yuni. Sesampainya di sana, kami disambut oleh kekagetan Yudi, anak laki-lakinya yang berusia 15 tahun. Yudi bercerita, ia dan bapaknya sudah mencari-cari Bu Yuni kemana-mana tapi tak kunjung ketemu, hingga akhirnya kami antarkan Bu Yuni kembali ke keluarganya terucap terima kasih yang tak henti-hentinya dari mulut Yudi. Suasana sangat mengharukan, bagaimana tidak, kami menyaksikan langsung peristiwa pertemuan anak dan orang tua itu. Yang menyedihkan, mungkin karena sudah terlalu lama Bu Yuni meninggalkan rumah, anak Bu Yuni yang seusia TK tidak mengenalinya dan enggan menghampirinya saat Bu Yuni memanggil namanya. Setelah itu, Kamipun pulang dengan perasaan bersyukur dan bahagia.
***
Aku masih saja dilanda perasaan campur aduk karena tidak bisa mengantar Bu Yuni ke RS Marzuki Mahdi. Karena itu, aku meminta anak Bu Yuni untuk menyampaikan ke Ayahnya agar membawa Bu Yuni ke Layanan Kesehatan Umat (LKU) an-Nashr untuk mendapat obat. Akupun akhirnya mendapat kabar dari Bu Tina bahwa Bu Yuni beserta suaminya sudah ke LKU untuk mengambil obat.
Rabu, 21 Desember 2010, aku dan Nurman meniatkan diri untuk ke rumah Bu Yuni. Kami berencana untuk mengajak Bu Yuni dan anaknya jalan-jalan dan belanja ke supermarket terdekat. Kami berencana ke sana jam 2 siang. Pukul ½ 1 siang, aku, Nurman, dan Bu Tina yang saat itu sedang mengadakan pertemuan dengan seorang dokter LKU An-Nashr, dikejutkan dengan telepon dari LKU yang memberitahukan bahwa suami Bu Yuni yakni Pak Mahfud datang ke LKU dengan kondisi sekujur tubuhnya terkelupas karena disiram air panas oleh Bu Yuni. Seketika itu, kami meminta pihak LKU untuk segera membawa Pak Mahfud ke RS Fatmawati. Konsentrasiku saat itu langsung buyar. Tak terbayang olehku padahal hari itu juga aku dan Nurman berencana ke rumah mereka.
Sekitar jam 8 malam, aku dan Nurman pergi ke rumah Bu Yuni untuk memastikan keadaan. Disana kami bertemu dengan Yudi yang saat itu kebingungan karena ayahnya tak kunjung pulang. Aku dan Nurman lalu menjelaskan bahwa ayahnya kini berada di rumah sakit. Aku dan Nurman kemudian mengobrol dengan Yudi yang saat itu hanya bertiga dengan dua adiknya yang masih kecil. Yudi berusia 15 tahun. Ia sudah tidak sekolah sejak kelas 6 SD dan itupun tidak lulus. Selama ini, ia menjaga adiknya dan ibunya yang sakit. Sedang pa Mahfud adalah penjual susu dan kakanya, Siti bekerja. Ia bercerita kepada kami bahwa ia ingin sekolah paket dan sempat mencari info ke lembaga yang mengadakan sekolah paket itu, namun karena kondisi yang belum memungkinkan ia belum juga menggapai impiannya.
“ Aku pengen kerja mba, kasihan Mba Siti cari uang sendiri, karena kalau melihat kondisi Bapak kayang Bapak ga bisa kerja. Tapi gimana aku harus jagain ade-ade. Tadi aja nangis terus nanyain Bapak,” ungkap Yudi.
“Sabar aja Ya Yudi, Insya Allah ada jalannya, kalau ada apa- apa telepon aja kita. Kamu sudah makan belum?” tanya Nurman
“Sudah tadi makan gorengan, itu juga minjem uangnya ke tetangga, karena mana tau Bapak ga pulang jadi ga ditinggalin uang deh,”
“Dari tadi Cuma makan gorengan?yaudah nanti makan nasi ya,” kataku sambil memeberinya sedikit uang untuk makan.
“Yudi kalau sempat coba main ke lembaga yang untuk sekolah paket itu, nanti kamu tanya-tanya kalau mau sekolah paket gimana, nanti kabari kita ya,” ujarku dan Nurman.
“iya ka, makasih banyak ya ka,”
“Yang sabar dan kuat ya Yandi” Nurman menyemangati.
Kami pergi meninggalkan ketiga anak itu dengan perasaan sedih. Yudi hanya anak kecil yang masih banyak impian dan harapan yang ingin diraihnya. Dia tidak sungkan untuk menjaga adik-adiknya di kala Ibu dan ayahnya yang sakit. Dia rela meminjam uang kepada tetangganya untuk makan ia dan adiknya. Bagaimana dengan Yudi lain yang bernasib lebih menyedihkan dari Yudi ini? Ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. “Yudi” juga menjadi tanggung jawab kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar