Di bus PPD P21, jurusan Ciputat-Blok M. Sudah lama sekali saya tidak mencium aroma khas dari bus rakyat ini. Saya memilih duduk di bangku pojok paling depan, dekat pintu bus yang sejak saya kecil rasanya bentuk dan fasilitasnya tidak pernah berkembang seiiring dinamika zaman. Memandang suasana luar adalah aktifitas paling menarik bagi saya saat mengalami kesendirian dalam perjalan. Tanpa teman ngobrol, saya akan memandangi setiap celah perjalanan Ciputat-Blok M yang dilewati bus bertarif jauh-dekat Rp. 2000 ini.
Semakin meningkatnya pengguna kendaraan mesin beroda dua rasanya yang menjadi penyebab saya harus menunggu keberangkatan bus hampir satu jam lamanya. Saya pun tidak dapat memaksa pak supir berwajah ramah itu untuk memutar kendali setirnya. Sembari bercanda dengan keneknya, pa supir dengan sabar menunggu bangku-bangku rezekinya terisi oleh kepentingan manusia. Dahulu, saat umur saya dua puluh tahun ke bawah, waktu-waktu menunggu seperti ini saya habiskan untuk membaca. Membuka tas dan mengambil bahan baca yang walau satu tetapi selalu saya bawa. Tapi apa yang saya lakukan saat ini, saya hanya membuka facebook lalu tertidur seperti biasa.
Pergerakan bis, membuat saya terbangun dari tidur tanpa lelap. Rupanya bus siap meninggalkan Ciputat dengan perlahan-lahan sembari mencari penumpang. Dalam batin saya, saya menyesalkan ketragisan yang terjadi dalam hidup saya. Menjadi orang bodoh, bagaikan mengalami kiamat syugro. Bodoh berarti mati, bukan secara fisik, tetapi secara intelektual apalagi bagi seorang mahasiswa seperti saya. Dan kematian intelektual rasanya menjadi kezaliman terbesar dalam hidup saya.
Jam menunjukkan pukul 12 siang, saat bus melewati kampus megah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemegahan yang harum uang-uang utang berkedok bantuan. Ini kampus saya, kampus yang sebagian besar saya gunakan waktu saya untuk bercengkrama, bercanda bersama teman tercinta saya. Orang bilang, kampus ini kampus pergerakan, kampus pembaharuan, kampus para pemikir, tapi itu semua tidak bagi saya. Bagi saya kampus ini adalah kampus termurah untuk saya mendapatkan gelar sarjana. Potensi yang saya punya terkubur hidup-hidup dalam kejenuhan ruang ilmu, seiring semangat belajar saya yang semakin redup dan hampir mati.
Rupanya sisa-sisa nyamannya kamar Cahya, seorang teman yang rumahnya saya inapi semalam, masih menggelayut di mata sipit saya. Didukung penuh dengan jalannya bus yang lambat, membuat kantuk mendera. Saya melakukan perlawanan sengit, “Ini baru awal perjalanan rin, jangan tidur-jangan tidur”. Tapi apa daya, saya tidak dapat menolak gejala alam ini. Kepala saya sesekali terbentur dengan jendela bus, tapi itu sama sekali tidak membuka mata saya. Setengah sadar akibat benturan, batin genit saya berkata” kalo sebelah saya seorang laki-laki tampan, pastinya dengan sukarela saya benturkan kepala saya di pundaknya”
Bus tanpa pengamen seperti indomi tanpa nasi bagi adik saya. Karena tertidur, Saya terlewat salam khas pengamen. Tapi suara merdu dan kolaborasi yang unik dari Dua pengamen yang sepertinya partner sejati itu, membangunkan saya dari tidur lumayan panjang saya di siang bolong. Ya, bus telah melakukan perjalanan lumayan panjang. Dua Penumpang tujuan pondok indah turun dari bus dan merelakan hiburan terhebat hari ini. Tidak seperti biasanya, karya hebat The Bagindas, ST 12, Ungu, dan rekan seprofesi mereka tidak menjadi lagu wajib pengamen kali ini. Saya jelas tidak tahu ini lagu siapa, tapi setiap baitnya sangat realis, tidak seperti lagu-lagu picisan yang banyak digemari belakangan ini.
“Siapa tahu hari ini ngamen besok jadi presiden”
“Negeri ini negeri koruptor berdasi”
Bait- bait acak dari pengamen yang terus terngiang dalam pikiran saya. Suara mereka merdu, bahkan lebih merdu dari suara Teuku Wisnu. Mereka ada di belakang saya. Pikiran saya menggerakkan kepala saya untuk menoleh ke belakang untuk melihat sang punya suara. Tak jarang, saya menemukan pengamen yang wajahnya tampan, dan itu menjadi hiburan tersendiri dari kegerahan bus rakyat yang minim fasilitas. Kali ini boleh saja mereka tak lolos kategori tampan menurut saya, tapi suara dan pilihan bermusik dua laki-laki yang sama-sama berjanggut dan bertato itu, membuat saya mengocek kantong walau hanya memberi mereka Rp. 1000. Kagum pasti, saya membayangkan mereka menang dalam kontes menyanyi, dan pastinya mereka akan mengalami banyak sentuhan dramatisasi yang menguras air mata, yah miskin menjadi komoditas menjanjikan di dunia hiburan.
Dari jalan yang saya jajaki saat ini, Blok M Plaza yang menjadi tujuan saya mungkin sekitar 4 km lagi. Di sudut jalan terparkir gerobak usang dengan 3 anak di dalamnya di pojok depan gedung bertingkat Jakarta Skin Center. Seorang ibu yang sedang menyusui anaknya duduk santai berselonjor sambil meremas payudaranya. Saya rasa itu bagian dari caranya untuk mengeluarkan ASInya yang entah mengandung gizi atau tidak. Saya teringat masa kecil saya yang bahagia. Orang tua saya selalu memeberikan apa yang saya minta, apalagi saat raport SD saya yang selalu mengahadirkan peringkat 1 di dalamnya. Saya berkaca pada keempat anak di gedung itu, batin saya bergumam yakin, Allah pasti telah memberikan kebahagiaan yang berbeda pada keempat anak itu.
Bus yang tua dimakan zaman ini tidak ubahnya seperti pasar. Terminal jual beli bagi pedagang kecil yang menjadi jantung ekonomi di seluruh dunia. Kali ini penjual kaos kaki. Dengan mengeluarkan uang Rp. 5000, 2 pasang kaos kaki dapat segera dibawa pulang. Kali ini saya tidak mau kehilangan kesempatan. Di kampus, saya baru saja membeli sepasang kaos kaki serupa yang 2 kali lipat harganya. Dengan segera saya mengeluarkan uang bergambar untuk ditukarkan dengan kaos kaki hitam warna favorit saya.
Kali ini bus meluncur lebih cepat dari sebelumnya. Dan sang penjual kaos kaki pun dengan hati-hati turun dari bus yang menemukan energi barunya. Rupanya Blok M sudah di depan mata. Dengan gesit bus menjemput penumpang barunya, dan sambutan hangat dari senyum yang merekah datang dari penumpang yang mungkin saja telah menunggu lama kedatangannya. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun, bus ini semakin sedikit jumlahnya.
Para penumpang satu persatu mulai berdiri dari duduknya saat bus mulai mendekati taman Surapati, Blok M. bebrapa di antaranya memeriksa ulang tempat duduk mereka mengantisipasi ada barang yang tertinggal. Sebagian dari mereka merapihkan pakaian dan rambut mereka yang lusuh dan berantakan setelah duduk tertidur selama hampir 2 jam. Saya, berdiri dan menggendong tas karimor merah. Saya dan penumpang lainnya turun bergantian. Kami memiliki tujuan yang berbeda-beda. Ada yang berjalan ke kiri, ada yang berjalan ke kanan.
Saya menuju Blok M Plaza. Lalu menuju ke lantai empat tempat toko baju sesuai dengan instruksi kaka saya. Saya memilih menggunakan lift ketimbang escalator untuk efisiensi waktu dan tenaga. Akhirnya setelah mencari-cari, saya menemukan toko yang dimaksud. Toko Bordir Mania namanya. Saya ambil baju dengan bordiran bendera merah merah di dada sebelah kanan pesanan kaka saya setelah melunasi sisa pembayarannya. Rupanya baju itu harusnya terpakai pada final piala AFF antar Malaysia dan Indonesia beberapa hari yang sudah terlewat. Saya tidak berniat untuk berjalan-jalan kali ini, tidak juga tergiur melihat baju-baju yang terlihat cantik pada tubuh manekin yang ideal. Saya langsung pulang, dan berharap dapat tidur dengan nyenyak di Bus PPD P 21 sampai Ciputat.zzzzzz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar