|
warga memindahkan jenazah alm. bu Titin ke kediaman nya |
Setiap ku tanya, Yandi hanya meringis saja. Entah dia hendak menangis atau tersipu malu selayaknya anak kecil yang baru bertemu dengan orang baru, aku tidak tahu pasti. Terus diobok-oboknya ikan cupang slayer dalam gelas bekas air mineral di genggamanya. Sesekali ia menatap tajam ke arahku dan Nurman, sisanya ia hanya menunduk.
"Yandi kelas berapa Pak?" tanyaku pada bapak bertato di sebelahku.
"Masih TK kalo ga salah."
"Hush, udah kelas 1 SD, tp ga tau SD mana neng," sanggah ibu berbaju biru yang tak ku tahu namanya.
Jalan terbaik adalah langsung kutanya Yandi yang saat itu masih asik dengan ikannya.
"Yandi kelas berapa?"
"Kelas 1."
"Kak Gema tinggal dimana sekarang Yan?Yandi ga ikut Kak Gema?"
"Di Kebayoran," jawab Yandi singkat.
"Dia mah taunya di Kebayoran doang neng, semuanya dijawab Kebayoran. Saudaranya mah banyak ga cuma di Kebayoran,"jelas sang tetangga. "Dia deket banget neng sama neneknya, malah manggil neneknya ibu. Jadi dia mau nunggu neneknya aja ga mau tinggal sama saudaranya kaya kakanya Gema"
"Pemerintah mentargetkan 76,4 juta warga miskin terpenuhi hak sehatnya melalui Jamkesmas, melampaui data jumlah warga miskin yang menurut BPS (Badan Pusat Statistik) berkurang 15,9 juta jiwa menjadi 60,5 juta jiwa saat ini. Fakta di lapangan justru menunjukkan masih banyak warga yang tidak mendapat Jamkesmas, ditolak rumah sakit atau punya Jamkesmas tapi tetap dalam ketakutan tak mampu bayar biaya pengobatan. "
|
sumur yg pernah dipakai untuk memandikan warga yg meninggal |
Aku dan Nurman terus mencoba mengajak Yandi bicara berharap ada senyum yang merekah dari bibirnya. Kami pun menjanjikan untuk mengajaknya di acara jambore anak yatim yang akan kami adakan kelak. Muka polosnya memperlihatkan kepedihan yang amat berat. Terkadang terdengar sesak dari setiap kata yang diucapkannya.***
Gema azan magrib bersahut-sahutan dengan bising kendaraan dari balik tembok beton tol Pondok Ranji itu. Terdengar suara tangisan bocah laki-laki dari arah rumah sempit beratapkan seng di balik tembok tol. Yandi terus menggoyang-goyangkan tangan seorang wanita paruh baya yang tergeletak di sampingnya dengan mulut berbusa. Tangisannya semakin kencang, air mata membanjiri dahi neneknya yang tak juga sadar meski ia semakin keras menggoyangkan tangannya.
"Bu Titin pingsan, tolong-tolong." teriak tetangga terdekat diselingi tangisan Yandi yang semakin mengeras.
"Astagfirullah, cepet angkat buru-buru kita bawa ke rumah sakit."
"Rumah sakit mana?"
"Udah mana aja takut ga ketolong."
Tetangga terdekat menghubungi keluarga bu Titin dan membawanya ke salah satu rumah sakit swasta. Karena peralatan medis yang kurang memadai akhirnya Ibu Titin dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati. Ibu Titin mengalami pendarahan di otaknya yang menyebabkan ia harus dioperasi. Dokter juga mendiagnosa ada cairan di otaknya.
|
salah satu rumah tetangga yandi, hanya berpintukan sarung usang. |
Persoalan klasik yang dihadapi warga miskin adalah ketakutan mereka terbebani biaya yang mahal untuk pengobatan di rumah sakit. Begitu juga yang terjadi pada Ibu Titin. Karena takut, tak ada satu pihak dari keluarga atau pun tetangga yang berani tanda tangan sebagai penjamin. Padahal jelas secara konstitusional hak sehat mereka terlindungi. Meski pemerintah sudah membuat program jaminan kesehatan untuk warga miskin yang bernama Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), tapi stigma orang miskin dilarang sakit, rasanya sudah melekat erat di kehidupan kaum papa ini. Entah karena birokrasi yang mempersulit, program jaminan kesehatan masyarakat miskin yang tidak sepenuhnya mengcover orang miskin di negara ini, atau karena ketidaktahuan aparatur pelaksana sampai penerima Jamkesmas tentang penggunaan dan jaminan gratis bila menggunakan Jamkesmas ini (baca:tidak ada sosialisasi). Yang memperparah lagi banyaknya pungli, calo, lintah darat, tega-teganya menghisap darah warga miskin. Alhasil, masih banyak warga miskin yang sakit hanya terbaring lemah bahkan keburu dipanggil Ilahi tanpa ada upaya pengobatan sebelumnya. Anehnya menurut data, pemerintah mentargetkan 76,4 juta warga miskin terpenuhi hak sehatnya melalui Jamkesmas, melampaui data jumlah warga miskin yang menurut BPS (Badan Pusat Statistik) berkurang 15,9 juta jiwa menjadi 60,5 juta jiwa saat ini. Fakta di lapangan justru menunjukkan masih banyak warga yang tidak mendapat Jamkesmas, ditolak rumah sakit atau punya Jamkesmas tapi tetap dalam ketakutan tak mampu bayar biaya pengobatan. Teganya, banyak aparatur dan oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat atas jaminan pengobatan gratis ini dengan meminta uang kepada pasien dengan alasan untuk obat lah, kamar lah, dll. Tak kalah sadis, marak mencuatnya dugaan korupsi jamkesmas di berbagai daerah. Tak sedikit ditemukan juga kasus adanya tindakan diskriminatif dari pihak rumah sakit terhadap pasien Jamkesmas. Tidak hanya itu, warga miskin juga dihadapi dengan masalah ketiadaan ongkos menuju ke rumah sakit. Karena tidak dipungkiri, warga miskin di negara ini bisa berada dalam kondisi tidak mempunyai uang sama sekali berhari-hari. Jadi jangankan untuk ongkos ke rumah sakit, untuk mengisi perut saja mereka kesulitan.
"Kita kadang bingung neng kalo ada yang sakit kaya bu Titin gini. Kemaren aja kita kaget banget ga lama kita masih ngobrol sama bu Titin, tau-tau dia kita temuin pingsan di kamar mandi. Mungkin dia udah lama nahan sakitnya, " ujar seorang tetangga.
"Yah kita paling bisa cuma galang dana, yah paling ke kumpul 100 rb, tapi cukup apa. Kaya kemaren ini Bu Gendut sakit kita rame-rame bawa dia pake gerobak, tapi bingung mau kemananya, tapi alhamdulillah kita cuma bawa dia ke tukang pijit eh dia sembuh. Tapi ada juga waktu itu disini yang sakit sampe meninggal karena ga dibawa ke rumah sakit," tambahnya sembari mencubit perut bu gendut yang sedang menggendong kucing selayaknya anak bayi yang disusui.
"Saya aja neng meriksa kehamilan sampe ke Palmerah, karena ga tau disini Puskesmas ada dimana. Mau ke bidan pasti mahal,"ungkap yang lainnya.
"Makanya kita bersyukur banget kalau ada yang bantu kaya gini kalau ada yang sakit"
****
Di ruangan sempit berdinding potongan kayu, berukuran sekitar 3 x3 m, Yandi tinggal seorang diri kini. Belaian lembut seorang nenek yang mengganti figur sang ibu tak dapat ia rasakan lagi. Ibu Yandi pergi tanpa kabar meninggalkan ia dan kakaknya Gema sejak kecil. Sedang ayahnya kini di haribaan Sang Ilahi. Gema kini tinggal bersama saudaranya, Yandi tak mau turut serta karena ia sudah begitu tergantung dengan neneknya dan suasana bermain di lingkungan itu.
"Kita kasihan banget sama Yandi, dia kadang ngurung diri, gelap-gelapan di rumahnya . Kita ketok pintunya dia ga mau buka, pas kita buka dia lagi jongkok sambil nangis. Dia juga sering mukul-mukul kepalanya."
"Takutnya dia mendem perasaan sedih neng, namanya juga bocah sekecil itu. Udah neneknya sakit, abangnya ga ada, orang tua ga punya, ya sekarang palingan tinggal sama tetangga"
"Yang bingungya kalo kita pada nyari duit dan anak-anak seumuran dia sekolah. Jadinya dia sendirian, kadang-kadang sedihnya dia sering pergi ke kuburan bapaknya"
"Iya tapi bandel si Yandi mah, maen ma jajan mlulu, makan ga mau"
"Iya tapi gapapa juga, kalo masih anak-anak gini minta jajan wajar, asal jangan kalo udah gede minta jajan motor"
Para tetangga bercerita secara bergantian.
Yandi berlari menghampiri teman seusianya yang mengajak ia bermain. Di jalan sempit di lingkungan padat penduduk, dipayungi mendung langit bertahtakan serakan sampah. Tidak ada mainan plastik Made in China atau USA, tidak ada halaman luas yang membuat ia semakin bebas berlari jingkrak-jingkrakan bersama teman-temannya. Rumah-rumah di sekitarnya hanyalah rumah semi permanen dengan harga sewa berkisar 150 ribu rupiah perbulannya, dengan kamar mandi bersama yang dibuat seadanya. Rata-rata warganya adalah pekerja serabutan, pemulung, dan pengamen. Anak-anak usia SD disana sekolah gratis di British School kepunyaan orang asing. Yang menyayat hati, remaja usia SMP dan SMA, terlebih lagi remaja perempuan, dikabarkan gemar bermain judi dan ngelem (kecanduan menghisap lem kalengan).
Dari kejauhan terlihat tawa renyah anak kecil dari mulut Yandi. Mungkin beban yang harus diterimanya di usia yang sangat belia itu sedikit terlepaskan lewat canda tawa bersama teman-temannya. Entah apa yang ada di benak Yandi. Dia hanya seorang anak yang masih sangat kecil. Mungkin dia rapuh dalam kenakalannya dan pedih dalam canda tawanya. Tak ada lagi yang mengantarnya sekolah, tak ada lagi kepitan ketiak yang menjadi bahtera tidurnya. Bersyukur curahan kasih sayang tetangganya masih ada. ****
Aku dan Nurman menyegerakan langkah kami saat kabar duka datang dari pesan singkat ponselku di Minggu pagi cerah itu. Ibu Titin dipanggil mengahadap Ilahi, menyudahi derita karena penyakitnya yang mebuat ia tak sadar selama seminggu lebih. Mentari terik yang awalnya menyemburat tak malu-malu kini bergantikan gerimis yang mengejutkan, mengiringi perjalanan kami menuju ke kediaman almarhumah.
"Lah ko tiba-tiba ujan gini ya, padahal tadi panas." kataku
"Yah mungkin aja ini kemudahan buat almarhumah, kalo hujan gini tanah kan jadi basah jadi gampang nguburnya." Pikirku benar juga apa yang dikatakan Nurman...
***
Ambulan jenazah tak lama tiba juga saat warga sedang berusaha mengurus pemakaman jenazah almarhumah. Sempat mendapat kesulitan karena almarhumah dianggap bukan warga setempat. Pemakaman Ibu Titin membuatku sadar susahnya sepetak tanah ini untuk warga tidak mampu. Tak hanya kesulitan untuk membayar biaya pemakaman, mereka juga terkadang harus mendapat kesulitan karena ketiadaan dentitas yang membuat mereka tidak dianggap sebagai warga, seperti yang dialami bu Titin. Padahal, almarhumah sudah menempati wilayah itu kurang lebih tiga tahun. sedangkan untuk mengurus identitas juga tak luput dari urusan birokrasi yang lama dan mahal. Ada puluhan rumah tangga di wilayah tempat tinggal bu Titin yang tidak memeiliki identitas setempat.
Rp. 280.000,- terkumpul dari hasil uang urunan warga untuk almarhumah. Ditambah uang Rp. 180.000,- yang sudah dikumpulkan sebelumnya yang rencananya akan diberikan ketika menjenguk almarhumah saat dirawat di rumah sakit. Uang yang terkumpul itu digunakan warga untuk membayar biaya pemakaman, karena pihak kecamatan yang berjanji datang urung juga menunjukkan batang hidungnya.
" Yah gini kalau ada yang sakit atau meninggal, kita ngumpulin uang. Ya kalo ga gitu mau gimana lagi, kita cuma ngerasa sama-sama orang susah mba."
"Ga cuma itu mba, kita bingung kalau ada yang meninggal gini, minta tolong sama orang yang biasa mandiin jenazah tapi pada ga mau. yah akhirnya kita ibu-ibu disini mandiin sendiri, tau deh bener apa ngga. yang penting niat kita ikhlas mba. Habis mau gimana lagi. untung alamarhum sudah dmandiin di rumah sakit." ungkap salah seorang warga sembari menunjuk ke arah sumur tak jauh dari tempat kami bercengkrama.
"Yang dosa mah kan yang ngerti tapi ga mau ngelaksanain. Bagi kita, kalau yang kontrak disini sudah berbulan-bulan apalagi bertahun-tahun berarti dia saudara sendiri mba. "tambahnya.
***
Terlintas dalam benakku dan Nurman tentang nasib Yandi sepeninggal neneknya. Apalagi menurut keterangan dari adik ipar almarhumah Yandi dipindah-pindah ke rumah saudara yang satu ke saudara yang lainnya. Keluarga juga belum tetap memutuskan Yandi akan tinggal dimana. Salah satu pihak keluarga menghendaki Yandi tinggal di sebuah yayasan. itupun belum jelas. Aku dan Nurman buru-buru mengajukan diri untuk mengupayakan agar Yandi tinggal di sebuah panti asuhan (kami tidak dapat menyebut namanya) atau diadopsi seorang rekan, karena kami pikir Yandi kelak menjadi dewasa, dia harus sekolah, tinggal di tempat yang layak, bermain dengan teman sebayanya, dan mendapat kasih sayang.
Tak hanya satu Yandi di negara ini. Masih banyak yandi-yandi lain yang mungkin saja mengalami nasib yang lebih menyedihkan dari Yandi ini. lingkungan rumah Yandi hanyalah satu titik di negara ini dimana keadilan tak sepenuhnya menjamah. Masih banyak daerah di negara ini yang warganya hidup dalam perih kemiskinan. Bukankah katanya negara ini kaya? dan bukankah kita semua ini saudara?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar