Hari ketujuh di Bulan Mei ini, saatnya
giliran siswa Sekolah Dasar (SD) yang ketar-ketir menghadapi Ujian Nasional
(UN). Berita di berbagai media massa menunjukkan bahwa UN tampaknya menjadi
teror nasional. Pelaksanaannya dikawal polisi bersenjata lengkap, alih-alih
menjaga “kejujuran” dalam jalannya ujian, yang ada keberadaan aparat penegak
hukum ini membuat “korban” ketakutan, dan jelas korbannya adalah anak-anak
Indonesia, generasi pembangun negara ini. Serasa menyentil, keberadaan para polisi ini
justru menunjukkan betapa tidak percayanya negara ini (baca : kemendikbud) pada
pendidik, yang justru menyerahkannya pada polisi yang maaf-maaf saja citranya
sudah busuk dengan segala intrik kepalsuan.
UN sebagai salah satu alat evaluasi
belajar rasanya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi pelajar Indonesia.
Dihantui ketidaklulusan, banyak para pelajar yang merasa berat untuk
menjalaninya, terlebih lagi standar angka kelulusan yang terus meningkat.
Ketakutan itu acapkali menimbulkan kepanikan, lazimnya, sebelum UN setiap sekolah
melaksanakan doa dan solat istighosah, maaf-maafan, bahkan ada yang melaksanakan
ritual mencuci kaki orang tua. Kesemuanya hanya untuk satu tujuan yakni : lulus
ujian nasional, yah syukur-syukur dengan nilai bagus, asal lulus dulu.
Berbagai ironi muncul dalam pelaksanaan
UN ini, mulai dari adanya kecurangan, permasalahan psikologis siswa yang takut,
stres, sampai masalah kelulusan yang direkayasa. Tidak dipungkiri untuk
mendapatkan gelar kelulusan, pihak sekolah berusaha dengan jalan apapun, meski
dengan kecurangan. Inilah dalih pemerintah memandatkan aparat kepolisian untuk
mengawal UN, satu alasannya : agar tidak terjadi kebocoran soal. Al hasil, ada
saja kejadian di berbagai daerah dimana guru yang ditangkap polisi karena
memberi bocoran jawaban kepada siswanya. Kultur yang tidak jauh berbeda yang
terjadi dalam lingkungan pemangku jabatan, hamba kekuasaan, di negara ini :
penuh kecurangan, kebohongan, intrik.