Jumat, 13 April 2012

Belia Dalam Jerat Selendang


True story. Seperti Biasa, sebut saja namanya Bunga. Yatim belia ini harus merasakan pil pahit kehidupan, ayah meninggal, hidup dalam kemiskinan, Hamil di luar nikah, tak diharapkan oleh mertua, bahkan gegabah menggantungkan dunianya pada sehelai selendang. Ia gantung diri. 


           Baru saja 3 bulan merasakan bangku sekolah, Bunga harus terpaksa melepas seragam putih abu-abunya karena usia kandungannya sudah 4 bulan. Kebahagiaan sang Ibunda dengan adanya seorang dermawan yang ingin menyekolahkan anaknya itu, harus sirna karena terlenanya sang anak dengan kehidupan muda yang rentan seks bebas. Upah lelah mencuci di rumah tetangga berusaha ia cukup-cukupkan untuk kebutuhan di rumah. Ia membatin pedih, mungkin jika suami masih ada, kehidupan tak akan sesulit ini.

         Bunga masih sangat belia dan belum  punya KTP. Begitu juga dengan ayah si jabang bayi dalam rahimnya. Mereka sepantaran. Orang tua keduanya memutuskan untuk menikahkan mereka secara sirih. Bulan telah berlalu, karena kondisi rahimnya yang rapuh, Bunga tak mampu melahirkan anaknya. Hari-hari berikutnya, kehidupan Bunga semakin pahit seketika.

        “Ngapain lo masih tinggal di sini? anaklo kan udah meninggal!” hardikan sang mertua menjadi makanan sehari-hari Bunga. Ia terjepit dalam ketiadaan pilihan, anaknya memang sudah tiada tapi hak dan kewajibannya sebagai istri belum ia tanggalkan. Figur suami tak ia dapat, hanya perlakuan seperti sampah yang selalu ia rasakan. Ia pun jarang makan. Sekali dua kali ia mampu memendam beban, hingga tengah malam itu, ia tak mampu lagi menanggung derita.

         Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan saat itu malam sedang dingin-dinginnya. Mertua Bunga meradang dan bersikap semakin seenaknya.  Tas yang berisi pakaian Bunga dilemparkan keluar rumah. Bunga yang renta ditendang tanpa kasihan. Bunga membiarkan dirinya diusir dari rumah mertua.  Ia memunguti pakaiannya sambil mendengar cacian dan pintu yang digebrak kencang.

        Sambil terus sesegukan, Bunga berjalan payah menuju rumah sang ibunda. Tangisnya memecah kerumunan pemuda seumuran yang sedang hobi begadang. Nun di hadapannya kini, seorang wanita mendekap erat sambil terisak. Perih hati sang ibunda menyambut pasrah kondisi sang anak yang sia-sia. Dengan cinta, sang ibunda berucap, “Sudah neng, biar aja. Sudah tinggal di rumah aja”

Kamis, 12 April 2012

Dia tidak ada di hidupmu, di hidupku.

Dia tidak ada di hatimu, di hatiku
di ketakutanmu, di ketakutanku
kita hidup dalam genggaman IradatNya
dengan mudah kita membuat Dia murka
Dia memayungi kita dengan karuniaNya
kita tuli dan lupa akan keberADAanNYa..

Dia tidak ada di relungmu, di relungku
di masjidmu, di masjidku
sejenak raga kita menyembahNya
sesering-seringnya jiwa kita alpa
kita yang berselimutkan kesalahan
tapi kita bersujud pada keangkuhan..

Dia tidak ada di janjimu, di janjiku
di syahadatmu, syahadatku
Dia menjadikan kita khalifah pengemban amanat
tapi kita menjadikanNya citra..
kita berucap Dia lah sang Ahad
tapi tuhan-tuhan lain merajai kita.

cinta kita cinta imitasi
sembah kita sembah asal-asal
harap kita harap serakah
syukur kita syukur pamrih
Dia tidak ada di hidupmu, di hidupku.