Jumat, 18 Maret 2011

Gelandangan Menunggu Peran Aktif Dinsos

Gelandangan Menunggu Peran Aktig Dinsos

Lebih dari lima orang laki-laki  tidak  mampu membuat  wanita yang sedang asyik duduk di singgasananya untuk mau diajak pergi. Wanita gempal berbalut kaus dekil berwarna orange yang sudah memudar itu, tetap bergeming. Polesan blush on dan lipstik berwarna marun menghiasi wajahnya. Sang wanita, merupakan tunawisma yang menderita gangguan jiwa. Kesehariannya ia tidur, duduk, ganti baju, makan, dan melakukan seluruh aktifitasnya, di atas tumpukan batu beralaskan kardus di bawah pohon di Jalan Raya Padjajaran, Pamulang Barat, Ciputat. Tak peduli hujan atau panas menerpa.  Tidak seperti biasanya, rupanya hari itu, Fitri Maria Mersedes Srihatun,begitu wanita itu menyebut nama lengkapnya ,tidak mempan rayuan laki-laki. Menurut pengakuan warga sekitar sering laki-laki mengajak Atun, panggilan akrab wanita itu, lalu mencabulinya dan memberikan uang yang tidak pernah lebih dari Rp.10.000
"Pernah waktu saya pulang dari kerja ngeliat laki-laki lagi "begituan" sama dia di bawah pohon, yah kalau ga si Atun dia ajak ke kebon belakang trus "digituin". Paling dia dikasih duit Rp.3000" ungkap seorang warga  sembari menunjukkan lahan kosong yang disebutkan sebagai tempat aktivitas seksual itu dilakukan.

Sudah lama, Ibu Atun tinggal di daerah itu. Mirisnya berdiri kantor walikota tangsel tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Minggu (23/01) sekitar pukul 3 sore, kami dari LSM Marcilea Foundation hendak membawa Ibu Atun ke Rumah Sakit Jiwa Marzuki Mahdi di daerah Bogor. Namun setelah membujuknya lebih dari tiga jam, tetap saja ia tidak mau diajak. Sudah banyak laki-laki merayu wanita yang genit bila ada lelaki yg mendekatinya ini, agar mau masuk ke dalam mobil, namun ia selalu menolaknya.
"Saya ga nakal, saya ga nakal, mau minta uang saja," rontanya.

   Seorang polisi dari Kepolisian Sektor (Polsek) Pamulang sudah dikerahkan, cairan penenang dari tenaga medis RSUD Tangsel pun sudah disuntikan ke tubuhnya. Seperti seorang yang kebal terhadap obat, 30 menit paska pemeberian obat seharusnya ia tertidur, tapi tetap saja ia segar bugar. Upaya paksapun sudah dilakukan, tapi tetap saja tidak berhasil. Sampai jam menunjukkan pukul 6 sore, akhirnya kami mengurungkan niat untuk membawanya ke rumah sakit dan berencana di lain hari lagi.

Ibu Atun hanyalah satu potret suram masalah sosial di indonesia, khusunya di daerah Tangerang Selatan (Tangsel), yang baru berotonomi ini. Masih banyak ratusan permasalahan sosial yang berkaitan dengan gelandangan ini. Problematika gelandangan, seharusnya menjadi wilayah kerja Dinas Sosial (Dinsos) setempat. Apalagi jelas secara konstitusional gelandangan dipelihara oleh negara. Dinsos Tangsel  tentunya tidak bisa terus-menerus beralibi tidak ada anggaran, tidak ada panti, toh, otonomi daerah bukannya sebagai indikasi kesiapan Tangsel untuk menangani permasalahan yang ada, termasuk  mengahadapi persoalan seperti ini, dan rasanya tidak tepat lagi mengatakan keterbatasan yang dimiliki itu sebagai hambatan. Seharusnya, ada koordinasi dan kerjasama yang baik, diantara instansi-instansi terkait baik di dalam maupun di luar Tangsel untuk menghadapi masalah ini. Dinsos Tangsel selayaknya cepat tanggap dan tidak mengeluh pada keadaan. Janganlah Dinsos melulu identik dengan baksos, acara sosial, bagi-bagi bantuan berupa materi, tapi gelandangan yang juga merupakan ranah kerjanya serta merta dilupakan. Jangan sampai mengurusi gelandangan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak popular,  atau sebagai pejabat yang bergajikan uang rakyat hanya semangat untuk urusan-urusan di "ladang basah" saja. Pertanyaan besar lalu timbul, mana peran Dinsos, atau mana kerja real Komisi pemberantasan Anak Terlantar, Gelandangan dan Pengemis (KPAG) Tangsel yang dibentuk untuk mengatasi masalah ini?

Tentunya, tidak dipungkiri, setiap permaslahan yang ada juga merupakan tanggung jawab masyarakat, baik individu maupun secara institusional. Kami dari LSM Marcilea Foundation, telah secara real berperan aktif dalam masalah ini. Kami pun secara lembaga, bukan merupakan lembaga yang mapan, mengingat kami tidak memiliki donatur. Kami hanya mengandalkan swadaya dari masing-masing anggota, yang secara ekonomi juga terbatas, selain dari bantuan kawan-kawab kami secara sukarela. Kami beranggotakan tiga orang, satu diantaranya, seorang ibu empat anak  yang berjualan ikan asin dan sepatu keliling, seorang lainnya merupakan pengajar privat, dan saya sendiri seorang mahasiswa. Namun, keterbatasan itu tidak kami jadikan halangan. Lembaga kami pun tidak memiliki sekretariat tetap, hanya rumah salah satu anggota kami yang dijadikan sekretariat sementara. Sering, rumah itu juga dijadikan tempat penampungan sementara bagi gelandangan yang sakit atau yang sedang kami upayakan panti sosial untuk mereka. Sudah banyak permasalahan gandangan yang kami tangani. Mulai dari persoalan gelandangan yang sakit, sakit jiwa, butuh tempat tinggal, dan lainnya. Persoalan itu dapat teratasi juga berkat kontribusi dari pihak kepolisian baik Polsek Ciputat, Pd.Aren, Pamulang, pihak RS. Fatmawati, RS jiwa Marjuki Mahdi Bogor, RSUD Tangsel, dan pihak-pihak lainnya, yang seharusnya pihak Dinsos Tangsel menjalin koordinasi dan kerjasama dengan  kesemua pihak tersebut. Janganlah justru main aksi lempar-lemparan kerjaan, lempar-lemparan tanhung jawab, yang pada akhirnya main salah-salahan. Bukannya serta merta menghilangkan peran Dinsos setempat, memang, selama ini pihak Dinsos telah memudahkan kami dalam pengurusan administrasi, tapi apakah peran Dinsos hanya untuk mengerjakan tugas administratif itu?

Tentunya permasalahan ini tidak hanya menjadi pekerjaan besar bagi Dinsos, tapi juga menjadi kewajiban  Walikota beserta jajarannya agar permasalahan ini dapat tertangani. Apalagi, menjelang Pemilukada ulang yang akan digelar Februari ini, janganlah kemiskinan dan persoalan yang merembet di belakangnya termasuk persoalan gelandangan, menjadi komoditas, janji-janji muluk para kandidat. Tapi menjadi PR besar yang harus ditangani dengan solusi yang aplikatif.


Tidak ada komentar: